Ringkasan Kajian Rutin: Riyadhush Shalihin #6

December 09, 2021
Ustadz Ahmad Halim Hafizhahullahu Ta'ala
3 November 2021
Masjid Nur Annisa, Semarang

Bismillah..
Melanjutkan hadits ke-5. Sesungguhnya hadits tersebut memiliki faidah yang banyak. Diantaranya, bahwa seorang itu boleh bershadaqah kepada anaknya (berbeda dengan nafaqah). Maka shadaqah itu tidak menggugurkan kewajiban nafaqah.

Hadits dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, dahulu istri dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu sangat ingin bershadaqah dengan hartanya, lalu Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu berkata kepada istrinya, "Suamimu tidak memiliki apa-apa. Anakmu dan suamimu adalah orang yang lebih berhak mendapatkannya". Kemudian istrinya menjawab, "Tidak sebelum aku bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam". Maka mereka bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Ya, anakmu dan suamimu lebih berhak mendapatkannya".

Hadits tersebut menjelaskan bolehnya seseorang memberikan zakat kepada anaknya. Dengan syarat zakat tadi tidak menggugurkan kewajiban dia untuk memberikan nafaqah kepada anaknya. Sebagai contoh, seandainya seseorang memiliki harta untuk zakat dan ingin memberikan zakat itu kepada anaknya. Dengan alasan agar anaknya tidak meminta nafaqah. Maka yang demikian ini tidak terhitung sebagai zakat yang diterima.

Seandainya pemberian itu dalam rangka untuk membayar hutang, maka pemberian zakat tadi boleh. Maka tidak mengapa dan teranggap sebagai zakat. Karena anaknya merupakan orang yang paling dekat dari bapaknya. Karena yang ia berikan itu tidak dimasukkan untuk kewajiban nafaqah untuk anaknya. Melainkan hanya untuk mengurangi atau membebaskan beban anaknya dalam hal hutang. Salah satu penerima zakat itu diantaranya adalah orang yang terlilit hutang.

Hadits ke-6
Dari Sa'ad bin Abi Waqash Radhiyallahu 'anhu, salah seorang yang disaksikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa salah satu orang yang masuk surga. Beliau Radhiyallahu 'anhu berkata, telah datang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjengukku ketika aku sedang mengalami sakit yang sangat. Maka aku berkata, "Wahai Rasulullah, sungguh telah tertimpa padaku sakit yang mana engkau telah melihatnya. Sedangkan aku memiliki harta namun tidak ada yang dapat diwariskan melainkan hanya seorang anak perempuanku saja. Apakah aku boleh bershadaqah dengan seluruh hartaku?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Itu terlalu besar". Lalu aku bertanya kembali, "Bagaimana jika ½ hartaku?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "½ masih terlalu besar". Kemudian aku bertanya, "Bagaimana jika dengan ⅓ hartaku?" Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "⅓ itu masih besar. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, maka itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin. Sesungguhnya di dalam engkau menginfaqkan nafaqah, kecuali engkau akan diberi sampai engkau mendapatkan infaq tadi pada mulut istrimu." Lalu aku bertanya kembali kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Wahai Rasulullah, apakah aku akan berpisah dengan shahabat-shahabatku?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Sesungguhnya engkau tidak akan meninggalkan, maka engkau beribadah dengan sesuatu yang mengangkatmu. Barang kali engkau meninggalkan sampai engkau memberikan manfaat pada kaum-kaum atau engkau memberikan mudharat kepada kaum-kaum".

1. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang Sa'ad untuk bershadaqah melainkan dengan tidak lebih dari ⅓ karena saat itu keadaannya sedang sakit dan sakitnya itu akan membawanya kepada kematian. Oleh sebab itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk bershadaqah lebih dari ⅓. Karena orang yang sakitnya bisa membawa kepada kematian tidak boleh bershadaqah lebih dari ⅓. Karena hartanya itu terkadang berkaitan dengan hak orang lain. Diantara mereka adalah ahli waris. Adapun orang yang sehat atau sakit yang ringan maka bagi dia bershadaqah apa yang dia inginkan dengan hartanya. Akan tetapi tidak sepantasnya seorang itu bershadaqah dengan harta seluruhnya. Kecuali di sisinya itu diketahui bahwa dia akan merasa cukup.
2. Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang beliau untuk bershadaqah lebih dari ⅓. "Sesungguhnya engkau jika meninggalkan ahli waris dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan dalam keadaan miskin dan meminta-minta." Semua itu dalam rangka mendapatkan wajah Allah. Karena penduduk surga itu akan melihat wajah Allah yang sangat indah dengan mata mereka sendiri sebagaimana mereka melihat matahari saat tidak ada awan-awan di sekelilingnya atau sebagaimana pula orang melihat bulan saat malam bulan purnama (maksudnya tidak ada sesuatupun yang menghalangi). Mereka melihat wajah Allah dengan jelas sebenar-benarnya. Demikian pula apabila engkau menginfaqkan kepada anak-anakmu, ibumu, kakakmu bahkan engkau menginfaqkan itu kepada dirimu sendiri dalam rangka mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka Allah akan membalas apa yang engkau inginkan dari infaq tadi.

Faidah dari hadits Sa'ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu tadi:
1. Petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menjenguk orang yang sedang sakit.
2. Sesungguhnya seorang itu menjenguk orang yang sakit maka sesungguhnya ia berada di taman surga sampai ia kembali lagi ke rumahnya.
3. Bahwa ketika ia mengunjungi saudaranya yang sedang sakit, itu sebagai peringatan kepada ia bahwasanya sehat itu nikmat. Maka apabila ia melihat orang sakit. Kemudian ia melihat dirinya dalam keadaan sehat wal 'afiat. Maka ia akan megetahui kadar nikmat Allah dari sehat ini. Karena sesuatu itu bisa diketahui kadarnya dari lawannya.
4. Orang yang dijenguk akan mengingat orang yang menjenguknya dan akan memunculkan kasih sayang.
5. Orang yang menjenguk itu membawa kebahagiaan kepada orang yang sakit. 

Allahu a'lam..

No comments:

Powered by Blogger.