Ringkasan Kajian Rutin: Kitabul 'Ilmi #6

December 08, 2021
Al-Ustadz Abu Zaid Hafizhahullah
2 November 2021
Masjid Nur Annisa, Semarang

Bismillah..
4. Berlapang dada dalam masalah khilafiyyah
Hendaknya kita berlapang dada dalam perkara ijtihadiyyah. Para shahabat, mereka berselisih di perkara-perkara yang banyak. Barang siapa yang menginginkan untuk menelaah pada perselisihan mereka. Maka mereka meruju' pada atsar-atsar yang berkaitan dengan itu. Niscaya mereka akan menghadapi perbedaan-perbedaan yang banyak. Khilaf pada mereka itu lebih besar daripada hal-hal yang diambil manusia dalam hal ikhtilaf, sehingga manusia menjadikan itu sebagai alasan mereka berkelompok-kelompok.

Dari demikian itu ada sebagian contoh. Salah seorang mengatakan, apabila kamu bangkit dari ruku', maka jangan kamu letakkan tangan kamu yang kanan di atas tangan yang kiri (bersedekap). Akan tetapi hendaknya engkau letakkan itu ke sisi kedua pahamu. Apabila kamu tidak melakukan itu, maka engkau telah berbuat bid'ah. Kata berbuat bid'ah itu bukan perkara ringan. Apabila ada yang mengatakan kepadaku ucapan seperti ini. Maka akan ada di hatiku ini rasa tidak suka. Karena manusia itu punya perasaan. Maka ini adalah masalah yang ada padanya keleluasaan. Ia bisa bersedekap atau melepaskannya.

Imam Ahmad Rahimahullahu Ta'ala memberikan dalil, ia diberi pilihan antara dia bersedekap atau ia melepasnya. Karena perkara demikian itu adalah perkara yang luas. Akan tetapi yang mana yang sunnah dalam masalah ini? Yang sunnah adalah engkau meletakkan tangan yang kanan di atas yang kiri. Dalilnya adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari Rahimahullah.

Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu. Ia berkata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, manusia diperintah untuk meletakkan tangannya yang kanan di atas hastanya yang kiri di dalam shalat.
Maka hendaknya ia melihat, apakah itu untuk setelah sujud atau ruku'? Atau diinginkan perintah itu di kala duduk? Bahkan diinginkan dari perintah itu di kala ia berdiri. Yang demikian itu mencakup berdirinya sebelum ruku' dan setelah ruku'.

Wajib untuk kita untuk tidak mengambil perselisihan seperti ini dari kalangan 'ulama menjadi sebab kita berpisah dan berselisih. Karena setiap dari kita itu menginginkan kebenaran dari ijtihadnya para 'ulama. Maka selama seperti ini keadaannya, tidak boleh menjadikan sebab berpisah dan berpecah. Bahkan perselisihan itu sudah ada sejak zaman shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.  Kalau begitu maka wajib bagi para penuntut 'ilmu. Mereka itu (para shahabat) berpegang tangan yang satu dengan yang lain, tidak boleh menjadikan khilaf seperti ini untuk saling menjauh dan saling membenci. Maka wajib ketika engkau berselisih dengan temanmu dengan ketentuan dalil yang ada padamu. Dan ia pun menyelisihimu dari dalilnya. Hendaknya kalian menyatukan dalil kalian sehingga dengan demikian bertambahlah kecintaan diantara kalian.

Karena itu maka kami senang dan memberi selamat kepada para pemuda yang mana di sisi mereka sekarang ini ada semangat yang kuat untuk menggabungkan masalah-masalah dengan dalil-dalil. Ia membangun 'ilmu mereka di atas Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan bahwasanya ini kabar gembira dengan terbukanya pintu 'ilmu dari metode-metode yang benar. Dan kita tidak ingin mereka menjadikan suatu khilaf sebagai sebab mereka berkelompok dan saling membenci. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam QS. Al-An'am: 159.
اِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِيْ شَيْءٍۗ اِنَّمَآ اَمْرُهُمْ اِلَى اللّٰهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (QS. Al-An'am: 159)

Maka orang-orang yang menjadikan diri mereka berkelompok, kami tidak pernah mencocoki mereka. Beda faham itu tidak mengharuskan manusia itu saling benci. Bahkan tidak seharusnya menjatuhkan kehormatan saudaranya. Maka wajib atas penuntut 'ilmu itu mereka menjadi bersaudara. Sampai-sampai ketika mereka berselisih di masalah-masalah yang cabang. Wajib atas setiap orang untuk memanggil yang lainnya dengan ketenangan dan kalaupun mereka berdebat/berdiskusi, maka yang diinginkan adalah wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan untuk sampai kepada 'ilmu. Dan dengan inilah akan menghasilkan persatuan. Dan akan menghilang perpecahan dan kesempitan yang ada pada manusia. Perselisihan akan menyenangkan musuh-musuh kaum Muslimin. Dan perselisihan di antara ummat akan memberikan mudharat di dalam agama ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam QS. Al-Anfal: 46.
وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَا تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَۚ
Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantah, yang menyebabkan kamu menjadi penakut dan hilang kekuatanmu. Maka bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Anfal: 46)

Dulu para shahabat Radhiyallahu 'anhum, mereka berselisih. Akan tetapi mereka di atas hati yang sabar. Di atas kecintaan dan persatuan. Bahkan sekarang aku mengatakan dengan tegas, bahwasanya sesungguhnya apabila seseorang menyelisihimu pada sebagian dalil yang ada padanya, maka sesungguhnya ia sedang mencocokimu. Karena setiap pada kalian berdua mencari hakikat dari kebenaran dengan dalil. Maka di mana letak khilafnya? Maka dengan inilah akan tetap ummat itu di atas persatuan, meskipun berselisih di sebagian masalah dengan tegaknya dalil. Adapun orang yang menyelisihi dan sombong setelah nampak kebenaran. Maka wajib diperlakukan dengan perlakuan yang pantas setelah dia berpaling dan menyelisihi kebenaran.

5. Beramal dengan 'ilmu
Hendaknya seorang penuntut 'ilmu mengamalkan 'ilmunya baik dalam urusan aqidah, ibadah, akhlak, adab ataupun masalah mu'amalah. Karena ini adalah buahnya 'ilmu dan dia adalah hasilnya 'ilmu. Maka pembawa 'ilmu itu seperti pembawa senjata. Bisa jadi senjata itu untuknya dan bisa jadi senjata itu mengenainya sendiri. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Al-Qur'an itu adalah hujjah milikmu atau hujjah atasmu.

Menjadi hujjah bagimu apabila kamu beramal dengan 'ilmu dan menjadi hujjah atasmu jika engkau tidak beramal dengan 'ilmu.  Dan jangan kau katakan kenapa atau bagaimana. Karena kalau demikian, maka itu adalah jalan yang bukan dari orang-orang beriman. Tidak sepantasnya bagi orang yang beriman apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan satu perkara sedangkan ada perkara yang lain selain Mereka. Allahu Ta'ala berfirman dalam QS. Al-Ahzab: 36.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗوَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 36)

Allahu a'lam..

No comments:

Powered by Blogger.