Ringkasan Kajian Rutin: Bulughul Maram #10

December 25, 2021
Ustadz Abu Umair Hafizhahullahu Ta'ala
2 Desember 2021
Masjid Nur Annisa, Semarang

Bismillah..
Bab Seputar Menghilangkan Najis dan Penjelasannya
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah membuat bab ini karena ingin menjelaskan tentang 2 permasalahan, antara lain:
1. Permasalahan tentang wajibnya menghilangkan najis dan tata cara menghilangkan najis, karena berbeda-beda tata caranya. Misalnya najis air liur anjing, darah haid ataupun kencing bayi yang belum makan kecuali hanya ASI saja, maka cara membersihkannya berbeda-beda. Akan tetapi itu semua harus berdasarkan dalil. Kemudian cara membersihkan tempat yang terkena najis tersebut. Kemudian menjelaskan tentang hal-hal yang dimaafkan. Contohnya kotoran cicak ketika mengenai baju, maka dimaafkan. Kotoran cicak itu najis akan tetapi dimaafkan.

2. Permasalahan tentang jenis najis yang wajib untuk dihilangkan. Berkata Syaikh Shalih Ibnu Fauzan Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta'ala, najis di sini adalah najis hukmiyah. Najis yang mengenai tempat yang suci sehingga tempat tersebut menjadi najis. Adapun najis ainiyyah, najis berupa dzatnya. Yaitu benda-benda yang memang kotor secara syar'i.  Yang di mana shalat itu tidak akan sah jika ada najis ini. Misalnya kencing atau bab. Apakah kencing bisa menjadi suci? Jelas tidak bisa, bagaimanapun caranya. Adapun jika kencing mengenai benda yang suci, maka ini bisa dengan cara menghilangkan kencingnya. Maka di sini menjelaskan tentang najis hukmiyah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullahu Ta'ala membawakan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu. Beliau mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanyakan tentang khamr yang dijadikan cuka. Nabi menjawab itu tidak boleh. Karena cuka itu ada yang terbuat dari khamr yang dibiarkan beberapa hari lalu difermentasi sehingga berubah menjadi cuka. Kalau cuka tersebut berubah dengan sendirinya, semisal ada seseorang mempunya khamr lalu lupa dan dicari-cari ternyata sudah berubah menjadi cuka. Maka ini statusnya halal dan tidak mengapa. Berbeda apabila seseorang mempunyai khamr kemudian dengan sengaja menyimpan agar berubah menjadi cuka. Maka yang seperti ini tidak diperbolehkan dan hukumnya tetap haram.

Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwasanya khamr itu najis. Akan tetapi terdapat silang pendapat apakah najis atau tidak. Jumhur 'ulama berpendapat bahwa khamr itu najis. Akan tetapi sebagian para 'ulama mengatakan bahwa khamr itu tidak najis. Manakah pendapat yang kuat? Allahu a'lam, ketika kita membaca asbabul wurud tentang ayat-ayat yang melarang khamr secara mutlak, yang di mana ini berkat do'a Umar Ibnu Khathab Radhiyallahu 'anhu, oleh sebab itu ia diberikan panggilan orang yang ucapannya bertepatan dengan wahyu. Di mana Umar ketika itu masih belum jelas tentang perkara khamr dan akhirnya berdo'a, "Ya Allah, jelaskan kepada kami tentang perkara khamr dengan penjelasan yang sejelas-jelasnya". Akhirnya turun firman Allah Subhanahu wa Ta'ala ayat tentang larangan khamr, tetapi hanya sekedar ada bahayanya. Bahwasanya di dalam khamr itu terdapat manfaat dan mudharat, akan tetapi mudharatnya lebih besar. Jadi belum diharamkan secara mutlak, sehingga Umar berdo'a lagi.

Kemudian turunlah firman Allah, Wahai orang-orang janganlah kalian mendekati shalat dalam kondisi kalian mabuk. Maka khamr itu diharamkan kalau diminum mendekati waktu shalat. Artinya kalau masih cukup waktunya berarti boleh. Misal Isya ke Subuh, maka itu masih boleh. Yang tidak boleh ketika mendekati waktu shalat. Namun ketika itu ternyata masih ada orang-orang yang walau sudah mendekati waktu shalat, tetapi orang tersebut masih dalam kondisi mabuk. Mungkin mereka minumnya ketika waktu shalat masih lama, akan tetapi bisa saja mabuknya masih berpengaruh tatkala waktu sudah mendekati waktu shalat, bahkan dijumpai ada orakng ketika itu yang wudhu' dengan air kencingnya. Maka Umar berdo'a lagi, setelah itu turunlah ayat yang mengharamkan khamr secara mutlak.

Ketika khamr diharamkan secara mutlak, para shahabat di Madinah yang masih menyimpan kendi-kendi khamr langsung menghancurkan seluruhnya. Begitulah para shahabat, ketika turun ayat yang menjelaskan, mereka langsung mengamalkannya. Dan hendaknya kita juga seperti itu. Imam Ahmad ketika mengetahui hadits bahwasanya Nabi pernah dibekam kemudian memberi upah kurang lebih 1 Dinar, maka ketika itu pula beliau Rahimahullah langsung mencari tukang bekam untuk dibekam lalu memberikan upah sebagaimana yang Rasul contohkan. Mereka adalah orang-orang yang berusaha mengamalkan hadits-hadits dan ayat-ayat Al-Qur'an, maka hendaklah kita juga demikian. Jangan hanya sekedar wacana saja.

Maka ketika khamr mutlak diharamkan, ketika itu pula Madinah dibanjiri dengan khamr. Tetapi ketika tiba waktu shalat, tidak ada satupun dari shahabat yang mencuci bajunya atau mengganti bajunya. Melainkan mereka langsung mengerjakan shalat mengenakan baju tadi. Dan ketika orang-orang yang memecahkan kendi-kendi khamr, maka tidak terlepas ia akan terkena percikan khamr. Maka sebagian 'ulama berpendapat bahwa khamr itu tidak najis. Karena seandainya najis, tentu ada satu riwayat dari shahabat yang mana ketika mereka memecahkan kendi-kendi khamr, maka mereka mengganti bajunya karena najis, tetapi kita temui tidak ada. Sehingga sebagian para 'ulama yang mengatakan khamr tidak najis, itulah pendapat yang kuat.

Sehingga kalau tidak najis, boleh tidak dijadikan sebagai campuran untuk minyak wangi? Jawabannya boleh. Akan tetapi, khamr atau alkohol itu ada beberapa jenis seperti etanol, metanol, isoprofin dan sebagainya. Ada jenis yang memabukkan atau ada jenis yang mematikan yaitu jenisnya racun. Maka kalau jenisnya memabukkan, kita tidak boleh sama sekali mendekatinya. Adapun untuk alkohol jenis racun, ini masih diperbolehkan kalau digunakan untuk obat, bukan untuk diminum. Dan biasanya yang dijadikan campuran untuk minyak wangi adalah alkohol dari jenis yang mematikan, makanya tidak boleh diminum. Akan tetapi apabila terdapat minyak wangi yang dicampurkan dengan alkohol dengan jenis memabukkan adalah najis? Jawabannya tidak, tetapi perbuatannya berdosa. Namun karena memang terjadi silang pendapat di kalangan para 'ulama, maka pendapat yang paling hati-hati adalah menggunakan minyak wangi yang tanpa alkohol.

Apakah boleh laki-laki memakai parfum khusus wanita? Jawabannya tidak boleh. Kecuali parfum yang umum, sehingga bisa dipakai laki-laki dan perempuan. Akan tetapi jika itu parfum khusus, sehingga ketika dipakai dan dirasakan baunya oleh orang, orang akan tahu bahwa itu adalah perempuan, maka itu yang tidak boleh. Karena kita dilarang untuk tasyabbuh, dan Rasul melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan atau perempuan yang menyerupai laki-laki. Sebagaimana juga dalam hal pakaian, tidak boleh laki-laki memakai pakaian khusus perempuan.

Hadits ini juga menunjukkan kepada kita bahwa khamr di masa silam bisa dijadikan cuka, dengan catatan bahwa cuka itu berubah dengan sendirinya. Karena haram apabila sengaja menyimpan alkohol sehingga menjadi cuka. Dan ini termasuk bab tentang wasilah itu tergantung maksud dan tujuan, tetapi wasilah itu ada 3, yaitu:
1) Wasilah yang menghantarkan tujuan yang sifatnya pasti, maka hukum wasilah ini sama seperti tujuan. Contohnya, orang shalat tidak akan sah jika tidak menutup auratnya. Ia punya uang tapi tidak punya pakaian, maka pada saat itu ia wajib untuk membeli pakaian. Karena wasilah untuk melakukan hal yang wajib.
2) Wasilah yang menghantarkan kepada tujuan sifatnya sering, maka hukum wasilah ini sama seperti tujuan. Seperti misalnya tembakau, itu wasilah untuk membuat rokok. Dan tembakau kebanyakannya orang menanam tembakau untuk dibuat rokok. Jarang kita jumpai orang menanam tembakau untuk sayuran. Maka ketika itu hukumnya wasilah sama seperti tujuan, berarti menanam tembakau adalah haram.
3) Wasilah yang menghantarkan kepada tujuan sifatnya kadang-kadang, misalnya buah anggur. Buah anggur bisa dijadikan khamr, apakah buah anggur hukumnya sama seperti khamr? Jawabannya tidak. Kalau sifatnya kadang-kadang, maka hukum wasilah itu beda dengan tujuan. Anggur memang bisa dijadikan khamr, tapi di zaman kita jarang orang membuat khamr menggunakan anggur. Yang banyak adalah buah anggur adalah untuk dimakan, sehingga hukum wasilah ini beda dengan tujuan. Artinya menanam buah anggur itu boleh, sedangkan khamr haram. Dan khamr itu tidak dari anggur saja.

Hadits ini juga menunjukkan kepada kita bahwa khamr adalah segala sesuatu yang menutupi akal dari segala yang diperas dan direndam, baik berasal dari anggur, kurma atau selainnya.

Terdapat larangan kita tidak boleh merendam 2 buah yang berbeda dalam 1 rendaman, semisal kurma dengan anggur. Karena yang seperti ini kalau dicampur, potensi untuk berubah menjadi khamr akan semakin cepat. Adapun hanya rendaman 1 jenis buah saja, semisal kurma saja. Maka ini tidak mengapa. Karena proses untuk berubah menjadi khamrnya lama. Maka sebaiknya perbuatan ini (merendam bermacam-macam buah) dihindari.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu. Ia mengatakan, ketika Perang Khaibar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada Abu Thalhah, maka ia pun menyeru, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian untuk memakan daging keledai. Karena ia kotor.

Hadits ini menjelaskan tentang haramnya daging keledai. Ini menujukkan bahwasanya binatang yang dagingnya haram untuk dimakan itu statusnya najis, contohnya kotoran keledai, kencingnya najis dan kotorannya najis dan dagingnya haram untuk dimakan. Akan tetapi sesuatu yang haram, apakah tidak boleh secara mutlak kita dekati? Maka perlu dilihat, kalau ada maslahat yang mubah, maka tidak mengapa. Contohnya keledai, keledai haram dagingnya. Misalnya kita membeli keledai memeliharanya dalam rangka untuk mengambil dagingnya, maka ini jelas haram. Akan tetapi jika kita membeli dan memelihara keledai dengan tujuan untuk ditunggangi dan jadi kendaraan, maka ini boleh, tidak mengapa. Akan tetapi jika dia jual kepada orang yang akan mengambil manfaat dari dagingnya, maka statusnya menjadi haram. Maka akad jual-beli itu kadang-kadang bisa berubah dengan berubahnya akad, apakah akadnya dagingnya atau manfaat yang mubah. Maka penting untuk menentukan akad ketika jual-beli, agar jelas.

Sebagai contoh lain adalah cacing, sebagian 'ulama mengatakan ada yang mengatakan halal dan ada yang mengatakan haram. Madzhab Maliki mengatakan halal, sedangkan jumhur mengatakan haram. Pendapat yang mengatakan haram, mereka membolehkan ketika cacing itu dimanfaatkan untuk hal yang mubah, contohnya untuk pancing, untuk pakan ikan, maka ini tidak masalah. Contoh lain lagi adalah jangkrik, jangkrik itu haram. Tapi ketika ada seseorang menjual jangkrik untuk dijadikan pakan burung, maka ini boleh karena manfaatnya mubah. Maka jelas bahwa sesuatu yang haram tidak secara mutlak kita diperintahkan untuk menjauhinya. 

Bagaimana dengan keringat dan air liur dari keledai? Keringat dan air liur keledai itu suci, karena kalau itu najis, maka orang yang menungganginya otomatis tidak terlepas dari keringatnya. Dan Nabi pun pernah menaiki keledai. Sehingga ini menunjukkan bahwa keringat keledai tidak najis, termasuk air liurnya. Dikatakan air liurnya suci karena keledai itu dianggap seperti kucing yang sulit untuk dihindari karena selalu berada di sekitar kita. Termasuk bekas minumnya keledai itu tidak najis.

Dari Amru ibnu Kharijah Radhiyallahu 'anhu, beliau mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkhutbah kepada kami ketika di Mina, sedangkan beliau sedang berada di atas hewan kendaraannya yaitu unta. Dan air liur hewan tersebut mengalir di atas pundakku. Kalau seandainya itu najis, tentu ia akan pergi atau mencuci bekasnya, akan tetapi tidak dijumpai demikian. Sehingga ini menunjukkan bahwasanya air liur unta atau keledai itu tidak najis.

Hadits ini menunjukkan pada kita bahwasanya:
1) Air liur unta itu suci dan tidaklah najis. Hal ini karena zhahirnya dari hadits ini, Nabi melihat air liur tersebut mengenai pundaknya Amr ibn Kharijah dan Nabi tidak menyuruhnya untuk membasuhnya. Dan penetapan Nabi terhadap sesuatu itu menjadi sunnah, sehingga itu menunjukkan bahwa air liurnya tidak najis. Dan seandainya Nabi tidak tahu, Allah tahu. Tapi yang kita temui tidak ada wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala terkait hal tersebut. Sehingga diamnya Nabi merupakan penetapan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam

Tambahan:
Kencing unta saja tidak najis karena Nabi pernah menyuruh orang-orang yang terkena penyakit untuk meminum kencing dan air susu unta. Sehingga kalau saja kencing unta itu najis, tidak mungkin Nabi memerintahkan untuk berobat dengan kencing unta, karena dalam hadits Nabi melarang berobat dengan sesuatu yang haram. Bagaimana jika kondisinya darurat? Dikiaskan dengan bolehnya makan babi jika dalam kondisi terjepit, kalau tidak makan maka mati. Jawabannya tetap tidak diperbolehkan, karena makan dan berobat adalah hal yang berbeda. Dalam berobat terdapat hadits, yaitu tidak diperbolehkan berobat dengan sesuatu yang haram. Kias itu ada yang mu'tabar dan ada yang ghairu mu'tabar. Kias yang mu'tabar itu adalah kias yang tidak bertentangan dengan dalil. Adapun jika bertentangan dengan dalil, maka itu kias ghairu mu'tabar. Maka tidak bisa. Lalu bagaimana dengan vaksin? Maka vaksin boleh, karena vaksin dikiaskan dengan makan dan vaksin bukanlah berobat sehingga boleh dalam kondisi darurat. Sehingga apabila ada alternatif lain, maka wajib menggunakan alternatif lain yang tidak mengandung unsur yang haram.

Shalat di kandang unta itu tidak boleh.

2) Selayaknya seorang khatib ketika menyampaikan khutbah hendaknya berada di tempat yang tinggi, seperti di atas kursi ataupun mimbar. Karena yang demikian ini lebih membantu untuk mengeraskan suaranya sehingga suaranya lebih lantang, lebih terdengar dan lebih mudah ketika ada yang bertanya. Sehingga Nabi terkadang bertanya kepada jama'ah, termasuk juga ketika khutbah Jum'at. Perlu digaris bawahi adalah khatib kepada jama'ah, adapun jama'ah dengan jama'ah maka tidak boleh berbicara karena akan menyebabkan Jum'atnya sia-sia. Yang memperbolehkan jama'ah berbicara ketika khutbah adalah ketika ditanya oleh khatib dan ketika khatib duduk di antara 2 khutbah. Atau ketika yang ceramah adalah ahlul bid'ah yang menyampaikan kesesatan. Maka boleh jama'ah untuk tidak mendengarkan dan menyibukkan diri dengan berdzikir kepada Allah atau membaca Al-Qur'an. Adapun ketika yang khutbah adalah Ahlussunnah wal jama'ah, maka kita wajib mendengarkan dan tidak boleh menyibukkan dengan hal-hal yang lain.

3) Semangatnya Nabi untuk menyampaikan hukum-hukum kepada ummat dengan menyampaikan khutbah. Dan selayaknya bagi orang yang diamanahi untuk mengatur atau mengurusi jama'ah Haji, hendaknya ia berkhutbah untuk mereka di Mina. Untuk memberitahukan kepada mereka tentang hukum-hukum manasik Haji, seperti melempar jumrah, menyembelih, atau mencukur dan thawaf.

4) Dibolehkannya berkhutbah dan menyampaikan nasihat di atas kendaraan. Ini mubah karena adanya maslahat dan kesempatannya tidak berulang-ulang dan juga ceramahnya tidak panjang.

5) Para shahabat itu menghafal hadits.

Allahu a'lam..

No comments:

Powered by Blogger.