Ringkasan Kajian Rutin: Riyadhush Shalihin #9

December 20, 2021
Ustadz Ahmad Halim Hafizhahullahu Ta'ala 
24 November 2021
Masjid Nur Annisa, Semarang

Bismillah..
Hadits ke-9
Dari Abi Bakrah Nufai' Ibnil Harits Radhiyallahu 'anhu berkata sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, apabila bertemu dua orang Muslim dengan kedua pedangnya. Maka yang membunuh dan terbunuh itu dalam api neraka. Aku berkata, yang membunuh benar masuk neraka, maka bagaimana keadaan orang yang terbunuh? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata bahwa ia yang terbunuh tadi telah bersungguh-sungguh berniat untuk membunuh Muslim yang lain, hanya saja ia terbunuh lebih dulu. Maka yang membunuh dan terbunuh di dalam api neraka. Maka dari hadits tersebut menjelaskan tentang pentingnya niat. Muttafaqun 'alaih. Hadits yang disepakati Imam Bukhari dan Imam Muslim. 

Apabila dua orang Muslim bertemu dengan kedua pedangnya. Maksudnya setiap satu dari dua orang Muslim tersebut mempunyai keinginan yang sama, yaitu untuk membunuh satu sama lain. Maka kemudian ia mulai mengambil pedangnya atau senjata seperti pistol, senapan atau senjata lainnya yang bisa digunakan membunuh seperti pula batu atau lainnya. Maka penyebutan pedang ini hanya contoh saja. Dan bukan atas bentuk keyakinan bahwa yang digunakan hanya yang disebutkan dalam hadits ini, maka apapun yang digunakan untuk membunuh. Akan berada di api neraka yang membunuh ataupun dibunuh. Maka hal ini sama saja dengan membunuh saudaranya. Karena yang membunuh tadi, telah membunuh jiwa yang beriman dengan sengaja. Dan orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja dan tanpa ada hal yang membolehkan, itu tempatnya di api neraka Jahannam. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Surah An-Nisa': 93.
وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ وَاَعَدَّ لَهٗ عَذَابًا عَظِيْمًا
Dan barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah neraka Jahannam, kekal padanya dan Allah memurkai atasnya, melaknatnya dan menyediakan bagi orang yang membunuh dengan sengaja tadi adzab yang besar. (QS. An-Nisa': 93)

Ayat ini tidak menafikan asal dari kaidah bahwa setiap orang yang beriman, tidak akan kekal di dalam neraka. Itu tidak bertetangan, karena nash-nash yang lain menjelaskan bahwa seorang Mukmin, dosa besar apapun yang dilakukan selama dia masih ada keimanan, dia tidak akan kekal di dalam api neraka. Sehingga pemahaman ayat ini di bawa ke dalam ayat-ayat yang lebih khusus tentang orang-orang Mukmin yang mereka tidak akan kekal di api neraka walaupun dosa mereka banyak atau besar selama tidak melakukan kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Inilah yang dipahami dan diyakini oleh orang-orang mu'tazilah dan khawarij. Mereka menganggap dosa-dosa besar itu menjadikan seseorang itu kekal di api neraka. Sehingga kita jangan terbawa ke pemahaman mereka, karena ayat-ayat yang lain menyebutkan tentang asal seorang Mukmin itu tidak akan kekal di dalam api neraka, yang kekal di dalam api neraka itu adalah yang berbuat kesyirikan. Maka ini adalah pemahaman yang keliru. Selama orang masih Mukmin, maka tidak kekal di dalam api neraka, karena orang yang beriman ketika meninggal membawa dosa yang banyak atau dosa besar, mereka di bawah takhta masya'atillah sebagaimana pemahaman ahlussunnah wal jama'ah, mereka di bawah kehendak Allah. Kalau Allah mengampuni maka mengampuninya dan kalau Allah menyiksa mereka di api neraka itupun tidak kekal dan suatu saat akan dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam surga. Itulah pemahaman ahlussunnah wal jama'ah.

Abu Bakrah Radhiyallahu 'anhu berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ini adalah orang yang dibunuh. Maka bagaimana keadaan orang yang dibunuh? Bagaimana ia bisa berada di dalam api neraka? Jawabannya adalah karena orang yang terbunuh tadi juga memiliki niat untuk membunuh. Hanya saja ia terbunuh lebih dahulu sebelum membunuh. Maka dalam hadits ini, dalil menunjukkan bahwasanya dalil amalan-amalan itu dengan niat-niat. Dan sesungguhnya ini dengan apa yang diniatkan orang tersebut yaitu membunuh temannya, maka ia seperti orang yang membunuh.

Oleh sebab itu adanya perbedaan dalam hadits ini dan hadits yang lain. Seperti hadits tentang orang yang terbunuh dalam rangka membela keluarganya, maka dia adalah syahid. Dan barang siapa yang terbunuh dalam rangka membela hartanya, ia pun adalah syahid. Dan ucapannya untuk orang yang datang untuk mengambil hartanya, maka ia membunuhnya maka dia itu di dalam api neraka dan apabila dia membunuhmu maka engkau mati dalam keadaan syahid. Dan demikian karena sesungguhnya seseorang yang mempertahankan dirinya, keluarganya maupun hartanya, maka ia adalah orang yang membela diri dari seorang yang memang menyerangnya. Tidaklah ia mempertahankannya kecuali dengan membunuh. Apabila orang yang menyerang itu terbunuh, maka orang yang menyerang itu masuk neraka. Dan apabila orang yajg mempertahankan harta terbunuh, maka orang tersebut syahid dan ia akan masuk ke dalam surga.

Maka diketahui dari sebab ini, orang yang membunuh saudaranya, maka ia masuk ke dalam neraka. Dan barang siapa yang terbunuh oleh saudaranya, tapi ia berniat demikian pula hanya saja ia tidak mampu melakukannya dan terbunuh terlebih dahulu, mana ia masuk ke dalam neraka pula. Dalil ini menunjukkan besarnya dosa dalam pembunuhan itu. Dan itu juga merupakan sebab-sebab masuknya seseorang ke dalam api neraka. Kita memohon perlindungan kepada Allah dari perkara-perkara yang demikian.

Terdapat pula dalil, bahwa para shahabat Radhiyallahu 'anhuma, dahulu kepada Rasul tentang perkara-perkara yang menjadi syubhat di masa itu, kemudian dijawab oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam  semisal hadits tadi, bertemu dua orang Muslim dengan pedangnya, lalu yang terbunuh di dalam api neraka. Maka ditanya, yang terbunuh kenapa di dalam api neraka? berarti ini merupakan suatu kerancuan atau syubhat. harusnya yang membunuh saja yang di dalam api neraka, ternyata tidak. Akan tetapi yang membunuh dan terbunuh sama saja. Maka yang terbunuh itulah yang ditanyakan. Maka Nabi menjelaskan apa yang menjadi syubhat di kalangan shahabat. Oleh sebab ini, tidaklah kita mendapatkan sesuatu dari Al-Qur'an dan As-Sunnah yang padanya ada kerancuan yang hakiki. Kecuali sungguh telah dijelaskan. Boleh jadi kebolehannya itu di dalam Al-Qur'an atau sunnah, tapi tanpa adanya pertanyaan. Boleh jadi datangnya padanya soal, kemudian dijawab dari pertanyaan tentang syubhat tadi sebagaimana dalam hadits tadi.

Oleh sebab itu pula kata beliau, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjelaskan tentang  Dajjal, bahwa Dajjal pernah tinggal di bumi ini selama 40 hari. Hari pertama, itu lamanya seperti 1 tahun, maka hampir dia menemui semua orang, akan tetapi ada yang selamat. Perjalanannya Dajjal sangat cepat. Kemudian hari yang kedua, itu seperti 1 bulan. Lalu hari yang ketiga seperti 1 pekan. Dan hari yang berikutnya seperti hari-hari sebagaimana hari-hari kalian.

Kemudian shahabat bertanya pada Nabi, hari ini sebagaimana 1 tahun. Apakah cukup bagi kita padanya itu shalat dalam 1 hari? Kata Nabi, tidak, akan tetapi ukurlah kalian baginya di waktu tersebut dengan suatu ukuran. Oleh sebab itu jelaslah dalil bahwasanya tidaklah didapati sesuatu pada Al-Qur'an dan sunnah itu sesuatu yang belum jelas. Akan tetapi, yang mungkin didapati baginya adalah kurangnya pemahamanan, kurangnya pengetahuan, kurangnya perhatian dan adanya kerancuan. Maka menjadilah urusan tersamarkan. Adapun dalam kenyataannya, tidak ada yang tersamar dalam Al-Qur'an dan sunnah, kecuali didapatkan penjelasannya di dalam Al-Qur'an dan sunnah bisa saja di awalnya atau dalam bentuk jawaban dari soal yang ada pada para shahabat. Allah lah tempat untuk kita memohon taufiq dan hidayah untuk beramal kepada-Nya.

Hadits ke-10.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, shalatnya seseorang pada shalat berjama'ah menambah nilai shalatnya dibandingkan shalatnya di rumah atau di pasar, itu lebih tinggi sekitar 20an°. Apabila ia mengambil wudhu' dan menyempurnakan wudhu'nya di rumahnya lalu ia berjalan ke masjid dengan niat sungguh-sungguh untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkah dengan setiap satu langkahnya kecuali diangkat baginya dengan langkah tersebut 1°, dan dihapus darinya dari tiap langkah tersebut 1 kesalahan. Kemudian sampai ia masuk ke dalam masjid lalu ia menunggu waktu shalat berikutnya. Itu merupakan karunia dari Allah untuk kita semua. Bahwasanya ia dianggap seperti orang yang sedang shalat selama dia menunggunya. Dan para Malaikat pun saat itu bershalawat atas seorang dari kalian selama ia masih di tempatnya yang dia shalat padanya. Para Malaikat berdoa, "Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah berikanlah rahmat kepadanya, Ya Allah terimalah taubat atasnya". Selama dia tidak melakukan perbuatan yang menyakiti orang lain dan selama ia tidak dalam keadaan hadats. Mutafaqqun 'alaih. Hadits yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Imam Nawawi Rahimahullah memberikan keterangan, "Yanhazu" dengan fathah "ya'" dan "ha'" serta dengan menggunakan "zai", maksudnya mengeluarkannya dan menggerakkannya. Hadits yang menunjuk kan betapa besar karunia dari Allah kepada kita.

Berkata Ibnu Utsaimin Rahimahullahu Ta'ala terkait dari makna hadits ini. Apabila seseorang di masjid bersama jama'ah ia shalat. Maka shalat yang demikian ini lebih baik dan lebih afdhal dari shalat yang dilakukan di rumahnya atau di pasar. Itu lebih baik 27° atau 27 kali bersama jama'ah sebagai bentuk apa yang Allah wajibkan untuk shalat berjama'ah. Berdasarkan pendapat yang rajih, shalat berjama'ah itu hukumnya fardhu 'ain bagi laki-laki, sedangkan bagi wanita itu hukumnya mubah. Sehingga kalau sudah tau hukumnya, maka sebaiknya kita mengejarnya. Wajib atas semua laki-laki untuk ia shalat berjama'ah di masjid. Karena hadits-hadits yang datang dalam perkara ini dengan hukum yang fardhu 'ain. Sebagaimana Allah berfirman dalam Surah An-Nisa: 102.
وَاِذَا كُنْتَ فِيْهِمْ فَاَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلٰوةَ فَلْتَقُمْ طَاۤىِٕفَةٌ مِّنْهُمْ مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُوْٓا اَسْلِحَتَهُمْ ۗ فَاِذَا سَجَدُوْا فَلْيَكُوْنُوْا مِنْ وَّرَاۤىِٕكُمْۖ وَلْتَأْتِ طَاۤىِٕفَةٌ اُخْرٰى لَمْ يُصَلُّوْا فَلْيُصَلُّوْا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوْا حِذْرَهُمْ وَاَسْلِحَتَهُمْ 
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. (QS. An-Nisa': 102)
Maka bahkan Allah telah mewajibkan shalat berjama'ah dalam kondisi ketakutan atau berperang. Maka lebih-lebih dalam kondisi yang aman.

Nabi menyebutkan beberapa sebab, antara lain:
Apabila seorang berwudhu' di rumahnya kemudian ia menyempurnakan wudhu'nya, lalu ia berjalan dari rumahnya untuk ke masjid. Dan ia keluar dengan niat untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkah dengan setiap langkah kecuali Allah mengangkat dia 1° dan menghapusnya 1 kesalahan. Tidak disebutkan jarak dari rumah ke masjid, maka sama saja apakah masjidnya dekat atau jauh. Maka setiap langkah itu menghasilkan 2 faidah, yaitu Allahu Ta'ala akan mengangkatnya 1° dan Allahu Ta'ala menghapusnya 1 kesalahan.

Karena sesungguhnya pada shalat itu apa yang engkau menunggu shalat berikutnya. Ini merupakan nikmat yang agung. Seandainya engkau berdiam menunggu shalat dengan waktu yang panjang. Sedangkan kamu sedang duduk (tidak shalat) setelah shalat tahiyatul masjid menuggu waktu shalat berikutnya. Maka engkau dihiting dengan pahala shalat. Tidaklah orang itu selalu dalam shalat selama ia menunggu shalat berikutnya. 

Di sana ada bagian yang keempat. Yaitu para Malaikat mendoakan orang tersebut selama ia masih duduk di tempat ia shalat sebelumnya. "Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah berikanlah rahmat kepadanya, Ya Allah terimalah taubat atasnya". Ini merupakan karunia yang besar bagi orang yang menghadirkan niat ini dan dengan perbuatan ini. 

Syahid dari hadits ini. Kemudian dia keluar dari rumahnya ke masjid tidaklah mengeluarkan dia dari rumahnya selain untuk shalat. Maka ungkapan ini adalah niat yang menghasilkan dari pahala yang agung ini. Adapun orang keluar dari rumahnya namun tidak ada niat ingin shalat, maka ia tidak termasuk dalam perkara ini. Tatkala ia keluar rumah dengan niat untuk ke tokonya, lalu ia ke masjid untuk shalat. Maka ia tidak mendapatkan pahala sebagaimana hadits tersebut. Akan tetapi dicatatnya pahala seperti pada hadits ialah ketika misalnya ketika ia berniat pergi ke tokonya atau ke tempat di mana dilangsungkan jual beli dan ia juga berniat dari rumahnya tersebut untuk shalat di masjid. Maka selama ia berthaharah. Maka sesungguhnya niat itu menentukkan pahala yang kita dapatkan. 

Allahu a'lam..

No comments:

Powered by Blogger.