Ringkasan Kajian Rutin: Kitabul 'Ilmi #7

December 11, 2021
Ustadz Abu Zaid Hafizhahullah
9 November 2021
Masjid Nur Annisa, Semarang

Bismillah..
Adab Penuntut 'Ilmu
5. Beramal dengan 'ilmu. Mengamalkan sesuai dengan 'ilmunya di seluruh aspek 'ilmu, termasuk aqidah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullahu Ta'ala mengatakan, seperti itu juga keadaan ia beramal dengan apa yang ada dalam Shahih Shallallahu 'alaihi wa sallam dan melaksanakan hukum-hukumnya. Apabila telah datang berita dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia menerimanya dan ambillah dengan sepenuh penerimaan dan ketundukan. Dan jangan engkau katakan "kenapa?", "mengapa?" dan "bagaimana?". Karena kalau orang mengatakan demikian, maka itu bukanlah jalan orang-orang yang beriman.

Sungguh Allahu Ta'ala telah berfirman dalam QS. Al Ahzab: 36
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗوَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ
Dan tidak selayaknya bagi seorang yang beriman (laki-laki ataupun perempuan) apabila Allah telah memutuskan dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara ada untuk mereka pilihan dari selain perkara yang dipilihkan Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia telah berada dalam kesesatan yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 36)

Allah dan Rasul-Nya memutuskan sesuatu maka kita harus menerima dam tunduk kepada-Nya. Jangan katakan "kenapa?", "mengapa?" dan "bagaimana?" sebab yang seperti itu bukan jalannya orang-orang yang beriman. Karena itu hanya membuat seolah ragu dengan Islam. Seorang bodoh yang bicara perkara agama untuk membuat orang-orang ragu terhadap agama yang mereka peluk. Maka seorang yang bodoh seharusnya belajar, mengambil 'ilmu dengan benar dari hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berbicara pada shahabat dengan sesuatu yang asing dan jauh dari pemahaman para shahabat. Akan tetapi mereka menerima yang demikian itu dengan ketundukan. Mereka tidak mengatakan "kenapa?", "mengapa?" dan "bagaimana?". Yang ini berbeda dengan apa yang terjadi pada orang-orang belakangan ini di atasnya dari ummat ini. Kita dapati satu dari kalangan mereka apabila dia diajak bicara dengan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kosong akalnya. Kita mendapati dia itu menolak dan membantah pada perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Keinginan-keinginan tersebut adalah menolak dan tidak meminta bimbingan. Karena itulah diapun dihalangi antara dirinya dan taufiq. Sampai-sampai diapun menolak yang disampaikan  Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena dia memang tidak mau menerimanya dengan penuh ketundukan dan penuh keselamatan.

Sebagai contoh, bahwasanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Rabb kita turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam yang akhir. Maka Rabb mengatakan barang siapa yang berdo'a kepada-Ku maka Aku akan mengabulkan untuknya. Barang siapa yang minta kepada-Ku, Aku akan memberi kepadanya. Barang siapa yang minta ampun kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya.

Hadits ini telah membicarakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mana ini hadits yang terkenal bahkan banyak yang meriwayatkan. Tidak ada satupun dari kalangan shahabat yang mengangkat lisannya, "Wahai Rasulullah bagaimana Allah turun?" atau "Apakah ketika Allah turun Arsy' menjadi kosong?" Dan apa yang semisal itu. Akan tetapi kita dapati sebagian manusia, mereka berbicara semisal ini. Yaitu tatkala disampaikan sebuah hadits mereka mempertanyakan "bagaimana bisa begitu?" dan semacamnya. Sehingga pada akhirnya mengatakan bahwa hadits itu tidak masuk akal.

Kalau saja mereka menerima hadits ini dengan penuh ketundukan dan mereka mengatakan sesungguhnya Allah Azza wa Jalla beristiwa di atas Arsy'-Nya dan Dia Maha Tinggi dan ini berupa kelaziman atas Zat-Nya. Dan Dia turun sebagaimana yang Dia inginkan Maha Suci Dia lagi Maha Tinggi, niscaya akan tertolak kepada mereka syubhat-syubhat seperti ini. Dan mereka tidak akan bingung pada apa yang disampaikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada mereka tentang Rabb mereka.

Manusia-manusia demi membela kelompok dan golongannya, dia membantah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kita berdakwah tidak di atas kelompok atau golongan tertentu. Kita membangunnya di atas firman Allahu Ta'ala dan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Itulah pentingnya kita belajar 'ilmu agama dari dasar yang benar dan dari bimbingan orang yang betul-betul berpegang dengan sesuatu yang benar.

Kalau begitu wajib atas kita semua untuk menerima apa yang Allah khabarkan tentangnya dan Rasul khabarkan tentangnya dari perkara-perkara yang ghaib. Kita menerimanya dengan ketundukan dan keselamatan. Dan kita tidak membantahnya dengan apa yang ada dalam benak-benak kita, berupa hal yang bisa dirasa dan bisa disaksikan. Karena perkara ghaib itu adalah di atas itu semua, tidak bisa dirasa dan tidak bisa disaksikan. Contohnya banyak dan saya tidak suka memperpanjangnya, hanya saja sifat seorang yang beriman itu terhadap hadits-hadits hendaknya ia menerima dengan ketundukan dan keselamatan, hendaknya ia mengatakan Maha Benar Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 285.
اٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهٖ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ 
Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah: 285)

Maka aqidah itu wajib dibangun di atas Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan hendaknya manusia mengetahui bahwasanya tidak ada tempat untuk akal dalam perkara aqidah. Saya tidak katakan tidak ada tempat masuk bagi akal dalam masalah aqidah. Sesungguhnya saja tidak ada tempat bagi akal dalam perkara aqidah kecuali bahwa apa yang telah datang dari nash-nash di dalam kesempurnaan Allah akal itu menyaksikan. Meskipun akal itu tidak mendapatkan rincian-rincian pada apa yang wajib bagi Allah berupa kesempurnaan. Akan tetapi akal mendapatkan bahwasanya Allahu Ta'ala itu tetap untuknya setiap sifat kesempurnaan. Karena sempurnanya Allah Subhanahu wa Ta'ala terkadang kita mendapat perinciannya. Maka harus untuk beramal dengan 'ilmu ini yang mana Allah telah karuniakan padanya dari sisi aqidah.

Dan seperti itu juga dari sisi ibadah. Kita beribadah kepada Allah Azza wa Jalla sebagaimana telah diketahui kebanyakan dari kita bahwasanya ibadah itu dibangun atas 2 asas yang pokok, yaitu ikhlas untuk Allah Azza wa Jalla dan mengikuti terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka manusia membangun ibadahnya di atas yang telah datang dari Allah dan Rasul-Nya. Jangan membuat-buat perkara baru di dalam agama Allah. Apa yang tidak ada dari beliau, tidak ada di dalam asal ibadah itu, tidak ada pula di dalam sifat ibadah itu.

Pada asal, sifat ibadah jika bukan berasal dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah perkara baru dalam agama ini, dan amalan itu akan tertolak. Maka kita katakan, harus di dalam ibadah itu ada berupa ketetapan syariat pada keadaannya, pada tempatnya, juga pada waktunya dan juga ada pada sebab-sebabnya. Harus ada ketetapan syariat pada perkara-perkara ini seluruhnya. Maka kalau ada salah seorang menetapkan sesuatu dari sebab-sebab untuk melaksanakan ibadah, yang ia beribadah tanpa dalil. Maka kita akan menolak ibadah itu. Dan kita katakan, "sesungguhnya ini tidak diterima". Karenanya harus menetapkan dengan sebab ini terhadap ibadah tersebut.

Dan kalau ada seseorang mensyariatkan sesuatu dari macam-macam ibadah ternyata tidak datang ketentuan syariat seperti itu. Atau mendatangkan dengan sesuatu yang ada dalam syariat tapi dalam keadaan dia membuat-buatnya. Sesungguhnya itu tertolak atasmu. Karena syariat itu haknya Allahu Ta'ala. Sunggguh dia telah melanggar Allah dan Rasul-Nya. Karena itu wajib bagi kita untuk terus belajar. Karena itu harus keadaan ibadah itu dibangun di atas sesuatu yang datang dari syariat ini. Karena ini adalah konsekuensi dari apa yang Allah ajarkan kepadamu berupa 'ilmu agar tidaklah engkau beribadah kepada Allahu Ta'ala kecuali dengan apa yang telah Allah syariatkan. Karena itulah 'ulama mengatakan, sesungguhnya asal di dalam ibadah-ibadah itu terlarang. Karena asal di dalam ibadah adalah terlarang sampai tegak dalil di atasnya. Dan para 'ulama berdalil atas demikian itu dengan firman Allahu Ta'ala dalam QS. Asy-Syura: 21.
اَمْ لَهُمْ شُرَكٰۤؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْۢ بِهِ اللّٰهُ 
Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang di sekutu-sekutu itu membuat syariat untuk mereka dari agama ini. Pada yang Allah tidak izinkan dari perkara itu. (QS. Asy-Syura: 21)

Hadits dari Aisyah Radhiyallahu 'anha. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda barang siapa yang mengamalkan dengan satu amalan yang tidak ada atasnya urusan kami, maka dia tertolak. Meskipun kalau engkau ikhlas dalam melalsanakan itu dan engkau menginginkan itu sampai kepada Allahu Ta'ala dan engkau menginginkan sampai kepada kemuliaan-Nya yaitu ingin surga Allahu Ta'ala. Akan tetapi, tidak di atas sisi yang disyariatkan maka itu akan tertolak di atasmu. Dan kalau engkau menginginkan sampai kepada Allahu Ta'ala yang Allahu Ta'ala tidak membuatnya satu jalan itu untuk sampai kepada-Nya, maka yang demikian itu akan tertolak atasmu.

Allahu a'lam..

No comments:

Powered by Blogger.