Ringkasan Kajian Rutin: Riyadhush Shalihin #10

December 23, 2021
Al-Ustadz Ahmad Halim Hafizhahullahu Ta'ala
1 Desember 2021
Masjid Nur Annisa, Semarang

Bismillah..
Hadits ke-11
Dari Ibnu Abbas, yaitu Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib Radhiyallahu 'anhuma. Dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada apa-apa yang telah diriwayatkan oleh Rabbnya. Ini disebut dengan hadits qudsi, hadits yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam langsung diriwayatkan dari apa yang disampaikan Allah kepadanya (hadits qudsi itu ada yang shahih, dhaif ataupun hasan, tergantung dari perawi yang disebutkan). Berkata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mencatat dan menulis kebaikan-kebaikan dan kejelekan-kejelekan kemudian menerangkan yang demikian itu. Barang siapa yang berkeinginan untuk berbuat kebaikan maka kemudian dia tidak mengamalkannya, maka Allah akan mencatat bagi orang tersebut tersebut 1 kebaikan yang sempurna. Maka niat itu sangat menentukan kebaikan. Kalau dia ingin mengamalkan kebaikan kemudian dia beramal dengannya, Allah mencatatnya 10 kali kebaikan, sampai 700 kali lipat kebaikan tersebut bahkan sampai yang Allah kehendaki dari kelipatan-kelipatan kebaikan. Itu tergantung dari niatnya dan tingkat keikhlasannya. Kemudian dia berkeinginan berbuat 1 kejelekan dan dia tidak mengamalkan kejelekan tersebut, maka Allah mencatat bagi orang tersebut 1 kebaikan. Dan jika dia berkeinginan untuk berbuat kejelekan dan ia betul-betul mengamalkan kejelekan tersebut, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala mencatatnya hanya 1 kejelekan saja. Mutafaqqun 'alaih. Disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Berkata Al-Alamah Ibnu Utsaimin Rahimahullah, ucapan dalam hadits qudsi ini, sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan kejelekan-kejelekan. Mencatat kebaikan dan kejelekan itu mencakup 2 makna. 
1) Makna pertama, kejelakan dan kebaikan tersebut telah dicatat di Lauh Al-Mahfud. Karena di dalam Kitab Lauh Al-Mahfud telah dicatat segala sesuatu. Allah berfirman
Sesungguhnya segala sesuatu itu telah Kami ciptakan dengan kadarnya, dengan ketentuannya. Dan setiap yang kecil dan yang besar sudah tercatat. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mencatat kejelekan-kejelekan dan kebaikan-kebaikan di Lauh Al-Mahfud.
2) Makna kedua, Allah mencatat kejelekan dan kebaikan tadi jika seorang hamba mengamalkanya, mengamalkan kebaikan atau mengamalkan kejelekan. Karena sesungguhnya Allahu Ta'ala mencatatnya sesuai dengan apa yang menuntut padanya hikmah Allah dan juga mentuntut padanya dari bentuk keadilan Allah dan keutamaan atau karunia Allah.

Maka tidak bertentangan antara makna pertama dan kedua, karena itu semua akan berkumpul nanti di sisi Allahu Ta'ala dari apa yang telah dicatat. Ini merupakan 2 catatan, antara lain:
1) Kitab yang telah berlalu
Yaitu catatan yang mana tidak ada yang mengetahui kecuali Allah. Maka setiap satu dari kita tidak mengetahui apa yang telah Allah catat baginya, apakah dari kebaikan atau kejelekan sampai terjadi yang demikian itu padanya.

Allah telah mentakdirkan seseorang untuk berbuat kebaikan di hari Jum'at, Allah telah mencatatnya di Lauh Al-Mahfud, ini tidak ada yang mengetahui kecuali Allah, kapan orang itu berbuat kebaikan ataupun kapan orang itu berbuat kejelekan. Akan tetapi bukan berarti kita bersandar kepada takdir saja, karena di dalam ayat-ayat lain kita diperintahkan untuk beramal. Ketika shahabat berpaham demikian lalu Nabi menyampaikan orang masuk surga dengan sebab bertauhid dan bebas dari syirik. Maka dia bergembira dan menyampaikan kepada orang yang lain. Ialah Muadz bin Jabal. Kata Nabi, jangan engkau sampaikan dulu, karena nanti mereka akan bersandar kepada amalan tauhid tadi dan tidak mau beramal yang lain lagi. Maka kita diperintahkan untuk beramal karena kita tidak tau akan berakhir dengan kebaikan atau kejelekan, akan tetapi Nabi mengatakan beramalah kalian karena setiap orang itu dimudahkan atas apa yang telah diciptakan atasnya, ditakdirkan atasnya.

Siapa yang tahu kalau kita nanti akan berakhir dengan baik atau dengan kejelekan? Maka kita beramal, karena kita telah dimudahkan dengan apa yang telah ditakdirkan. Kalau seandainya sekarang kita beramal kebaikan, maka itulah yang telah ditakdirkan kepada kita. Oleh sebab itu, maka teruslah kita beramal kebaikan, karena seseorang itu dimudahkan dengan apa yang telah ditakdirkan. Kita tidak tahu nasib kita. Maka orang yang suka berbuat baik, insyaAllah akan berakhir dengan kebaikan dengan sebab kebiasaannya berbuat kebaikan. Begitupun orang yang suka berbuat kejelekan, maka biasanya akan berakhir dengan kejelekan sebagaimana kebiasaannya melakukan perbuatan kejelekan. Tapi kita tidak mengetahui nasib kita, maka kita diperintahkan oleh syari'at untuk beramal.

Membicarakan masalah takdir tidak bisa berpanjang-panjang kecuali dengan dalil. Tanpa dalil, maka sebaiknya pembicaraan tentang takdir itu dihentikan karena pembicaraan tentang takdir tidak bisa dengan akal pemikiran kita. Selama dalil berbicara, maka kita berbicara dengan dalil. Ketika sudah tidak ada lagi permasalahan tentang takdir maka kita berhenti dan mencukupkan dengan apa yang telah datang dari Allah dan Rasul-Nya dengan dalil-dalil supaya kita tidak terjatuh ke dalam masalah ini, baik dalam masalah golongan jabriyah yang menerima takdir tapi tidak menjalani syari'at ataupun golongan qadariyah yang menolak takdir mentah-mentah. Jadi 2 golongan ini jatuh ke dalam masalah takdir, sehingga tersalah dalam menjalani syari'at.

Kalau orang jabriyah mengatakan, orang yang mencuri itu tidak berdosa, karena ia hanya menjalani takdir. Ia tidak melihat syari'at Allah, sehingga syari'at Allah itu tidak ada gunanya bagi mereka karena mereka meninggalkan syari'at. Mereka mengakui adanya takdir, tapi mereka salah dalam memahaminya. Kalau golongan qadariyah, menolak takdir seluruhnya mentah-mentah. Sehingga takdir itu tidak ada, jadi apa dijalani ini adalah semata-mata kehendak manusia dan tidak ada kehendak Allah padanya. Tapi kalau ingin membuat sesuatu yang menolak pendapat mereka, pasti mereka akan bingung. Misalnya, kita tanya kalau seandainya kamu didatangkan minuman berupa racun yang mematikan dan minuman yang tidak mematikan. Maka kamu akan memilih yang tidak mematikan, maka kamu memilih selamat. Begitu pula Allah mengatakan bahwa orang-orang yang bertaqwa' itu masuk surga dan orang-orang yang membuat kejelekan itu masuk neraka, termasuk pula orang yang melakukan kemaksiatan. Lantas kenapa kamu tidak hindari? maka mereka akan mengatakan bahwa itu takdir, sehingga mereka tidak tetap pada perkataannya.

2) Catatan yang berlangsung pada waktu yang akan datang
Yaitu apabila seorang manusia beramal dengan amalan itu, maka dicatat baginya sesuai dengan apa yang menuntutnya dari hikmah Allah, keadilan Allah dan keutamaan Allah. Jadi orang beramal mendapatkan catatan dari Allah itu dengan hikmah Allah, keadilan Allah dan juga karunia dari Allah. Kemudian menerangkan yang demikian itu, bagaimana Allah bisa mencatat pada orang yang beramal dengan keinginan dia terhadap kebaikan dan tidak beramal dengan kebaikan tadi ditulis dengan 1 kebaikan, maka itulah yang disebut dengan hikmah Allah, keadilan Allah dan juga sekaligus merupakan karunia Allah kepada kita. Begitu juga orang berkeinginan berbuat kejelekan kemudian dia tidak beramal dengan kejelekan tadi, dia mendapatkan 1 kebaikan. Itu juga merupakan keadilan dan karunia Allah kepada seorang hamba.

Contoh.
Seorang berkeinginan untuk wudhu' dalam rangka membaca Al-Qur'an. Kemudian ia tidak membaca Al-Qur'an setelah itu, maka orang tersebut dicatat baginya 1 kebaikan.

Contoh lain.
Seorang itu berkeinginan untuk bershadaqah dari harta yang dia miliki. Kemudian dia menahannya tapi sudah memiliki keinginan untuk bershadaqah, maka dicatat baginya 1 kebaikan.

Contoh lain lagi.
Atau seorang ingin shalat 2 raka'at, kemudian dia menahan diri tidak shalat, maka dicatat baginya 1 kebaikan.

Maka yang demikian adalah karunia Allah, keadilan Allah. Sudah menginginkan 1 kebaikan tapi tidak beramal, tetap dicatat 1 kebaikan. Apabila seorang bertanya, bagaimana orang itu dicatat dengan 1 kebaikan sedangkan ia tidak beramal dengannya? Dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, karena karunia Allah itu luas. Maka Allah memberikan 1 kebaikan  bagi orang yang berniat mengamalkan kebaikan tapi tidak beramal sehingga menunjukkan luasnya karunia Allah. Orang yang berkeinginan seperti ini, dianggap sebagai kebaikan. Karena hati itu, keinginannya itu bisa jadi kepada kejelekan dan bisa jadi kepada kebaikan. Maka apabila dia berkeinginan dengan kebaikan, maka dicatat 1 kebaikan baginya dan apabila dia mengamalkannya Allah mencatatnya 10 kali lipat kebaikan atau 700 kali lipat atau bahkan sampai apa yang Allah kehendaki padanya kelipatan-kelipatannya. Perbedaan dari tingkat kelipatan kebaikan dilipat gandakan 10 kali, 700 kali atau yang Allah kehendaki dari kelipatan yang banyak itu dibangun di atas keikhlasan.

Keikhlasan itu bertingkat tingkat pula karena keikhlasan itu merupakan amalan hati. Amalan itu pasti bertingkat-tingkat pula derajatnya. Maka ketika amalan itu semakin ikhlas, akan semakin dilipat gandakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala (minimal 10 kali sebagaimana hadits dan Al-Qur'an). Dan mengikuti syari'at yaitu dibangun di atas keikhlasan dan mengikuti sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka tatkala seseorang itu dalan ibadahnya semakin ikhlas kepada Allah, maka keadaan pahalanya lebih banyak. Dan tatkala seseorang itu semakin mengikuti di dalam ibadahnya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka keadaan ibadahnya itu semakin sempurna dan pahalanya bertambah lebih banyak lagi.

Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah menambahkan. Adapun kejelekan, kalau dia menginginkan kejelekan dan tidak beramal dengan kejelekan tadi maka dicatat oleh Allah 1 kebaikan. Seperti misalnya dia berkeinginan mencuri, akan tetapi ketika itu ia mengingat Allah kemduian ia mendapati dirinya takut kepada Allah sehingga dia meninggalkan amalan mencuri tadi. Maka dicatat bagi orang tersebut 1 kebaikan. Karena dia meninggalkan 1 kemaksiatan karena Allah. Maka kemudian diberikan pahala atas yang demikian itu sebagaimana pula datang dalam tafsiran dari lafadz hadits yang lain. "Karena dia meninggalkan kemaksiatan tadi karena-Ku". Maka apabila orang itu beramal kejelekan maka dicatat bagi orang tersebut 1 kejelekan. Tidak ada tambahan sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
مَنْ جَاۤءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهٗ عَشْرُ اَمْثَالِهَا ۚوَمَنْ جَاۤءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزٰٓى اِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ
Maka barang siapa yang menjalani kebaikan 1 saja, maka baginya 10 kali lipat kebaikan. Dan barang siapa yang mengamalkan 1 kejelekan, tidaklah dibalasi kecuali semisal kejelekan 1 tadi sedangkan mereka tidak dizhalimi. (QS. Al-An'am: 160)

Hadits ini pun menunjukkan kepada pentingnya niat. Dan terkadang niat itu mengantarkan pelakunya kepada kebaikan. Jadi niat itu sesuatu yang menjadi pelajaran dan ukuran karena terkadang niat itu bisa membawa pelakunya kepada kebaikan. Dan telah berlalu bagi kami semuanya bahwa seorang apabila berniat untuk suatu kejelekan dan beramal dengan amalan itu yang menyampaikan dia kepada kejelekan, akan tetapi dia itu lemah dari perbuatan kejelekan tadi. Maka dia dicatat dosa dari perbuatannya. Sebagaimana yang telah berlalu tentang 2 orang Muslim yang bertemu dengan kedua pedangnya, maka yang membunuh dan terbunuh dalam api neraka. Para shahabat mengatakan, Wahai Rasulullah, jelaslah bagi yang membunuh lalu bagaimana bagi yang terbunuh? Rasulullah menjawab karena orang yang terbunuh tadi memiliki niat yang kuat untuk membunuh saudaranya akan tetapi dia telah didahului oleh kematian. Maka niat itu penting sekali.

Allahu a'lam.. 

No comments:

Powered by Blogger.