Ringkasan Kajian Rutin: Kitabul 'Ilmi #8

December 14, 2021
Ustadz Abu Zaid Hafizhahullah 
16 November 2021
Masjid Nur Annisa, Semarang

Bismillah..
5. Beramal dengan 'ilmu
Mengamalkan 'ilmu hukumnya wajib. Dan dengan itulah Al-Qur'an yang merupakan sumber 'ilmu menjadi hujjah bagi/milik kita bukan sebagai sekedar hujjah atas kita. Maka apapun 'ilmu yang telah kita pelajari wajib kita amalkan di setiap keadaan. Sehingga apabila seseorang mendapatkan ayat atau hadits yang shahih, kita wajib menerimanya. Karena itu adalah awalan dari aqidah kita. Kalau seorang tidak menerimanya dengan berbagai dalih maka dia pun akan terjatuh pada perbuatan dosa.
Allah berfirman dalam QS. Al-Ahzab: 36.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗوَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 36)
Maka apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, kita wajib menerimanya. Allahu Ta'ala juga berfirman di ayat-ayat akhir Surah Al-Baqarah.
اٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهٖ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ 
Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah: 285)
Penuntut 'ilmu hendaknya membangun amalnya di atas dasar yang benar. Kalau ia beribadah tanpa dasar dari syariat ini, maka amalnya akan sia-sia. Terdapat suatu hadits dari Aisyah Radhiyallahu 'anha. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim Rahimahullah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, barang siapa yang beramal dengan satu amalan yang tidak ada padanya contoh dari kami, maka amalan itu akan tertolak.

Asal ibadah adalah terlarang. Artinya seorang mengerjakan amal shalih, asalnya tidak boleh dikerjakan sampai datang perintah untuk mengerjakannya dalam Al-Qur'an dan juga As-Sunnah. Sehingga itu betul bukti adanya perintah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala atau perintah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalilnya adalah firman Allahu Ta'ala dalam QS. Asy-Syura: 21.
اَمْ لَهُمْ شُرَكٰۤؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْۢ بِهِ اللّٰهُ ۗ
Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu/sembahan-sembahan yang para sekutu/sembahan itu mensyariatkan mereka pada apa yang tidak Allah perintahkan padanya? (QS. Asy-Syura: 21)

Syaikh Muhammad bin Shalih bin Utsaimin Rahimahullah mengatakan bahwa kalau begitu maka kewajiban penuntut 'ilmu untuk menjaga ibadahnya kepada Allahu Ta'ala dengan apa yang telah Allah ajarkan kepada dirinya, yaitu berupa syariat ini. Ia tidak menambah dan tidak pula mengurangi. 

Janganlah ia mengatakan, "ibadah yang aku mengerjakannya ini adalah ibadah yang aku tenang ketika mengerjakannya. Terasa tenang hati dan badanku ini dan juga menjadi lapang dadaku". Jangan ia berkata seperti itu, meskipun terhasilkan yang seperti demikian. Maka hendaknya ia menimbangnya dengan timbangan syariat, jika Al-Kitab dan Sunnah menyaksikan hal itu dengan penerimaan di atas mata dan kepalanya. Maka jika tidak ada timbangan syariat maka sesungguhnya dia telah dihias-hias dengan jeleknya amalan itu.  Allahu Ta'ala telah berfirman dalam QS. Fatir: 8.
اَفَمَنْ زُيِّنَ لَهٗ سُوْۤءُ عَمَلِهٖ فَرَاٰهُ حَسَنًاۗ فَاِنَّ اللّٰهَ يُضِلُّ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُۖ 
Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaithan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. Fatir: 8)

Yang seperti ini tentu berbeda dengan orang yang memiliki 'ilmu. Maka Allah menyesatkan orang yang Ia kehendaki dan Allah menunjukkan jalan kepada orang yang Ia kehendaki pula. Dan seperti itu juga harus seseorang itu mengamalkan dengan 'ilmunya di dalam masalah akhlak dan juga masalah mu'amalah. Dan 'ilmu syariat itu akan menyeru kepada setiap akhlak-akhlak yang mulia, yaitu berupa kejujuran dan menepati janji, cinta pada kebaikan, baik bagi dirinya maupun orang lain. Sampai-sampai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, tidak beriman seorang dari kalian sampai kalian mencintai dari dirinya dan menyukai kebaikan itu untuk orang-orang beriman. Dan telah bersabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, barang siapa yang ingin untuk dia dijauhkan dari api neraka dan ia ingin untuk dimasukkan ke dalam surga, maka hendaknya ia beriman kepada Allah dan Hari Akhir, tatkala ia didatangi oleh kematian, maka hendaknya ia mendatangkan kepada manusia apa yang ia sukai untuk didatangi dengan dirinya juga.

Berapa banyak dari manusia, mereka memiliki semangat tinggi juga kecintaan kepada kebaikan. Akan tetapi tidaklah mereka bergaul dengan manusia dengan akhlak-akhlak mereka yang baik. Kita mendapati dia memiliki sifat keras dan kejam sampai-sampai dalam urusan dakwah di jalan Allah. Kita mendapati dia mengunakan sifat kekerasan dan bengis ini, menyelisihi terhadap akhlak-akhlak yang Allah perintahkan. Ketahuilah bahwasanya husnul khuluq (akhlak yang baik) adalah termasuk dalam apa yang akan mendekatkan kepada Allah Azza wa Jalla. Manusia paling utama/dekat dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang mereka punya kebaikan-kebaikan dalam akhlak

Sebagaimana sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya termasuk dari yang paling aku cintai terhadap kalian dan paling dekatnya tempat dudukku dengan kalian adalah yang paling bagus akhlak-akhlaknya. Sesungguhnya yang paling aku benci dari kalian adalah yang paling banyak omong dan besar mulut dan mutafayhiqun. Shahabat bertanya, Wahai Rasulullah kami telah mengetahui itu, akan tetapi apa itu mutafayhiqun? Itu adalah orang yang sombong.

6. Berdakwah ke jalan Allah
Hendaknya penuntut 'ilmu menjadi da'i dengan 'ilmunya ke jalan Allah Azza wa Jalla. Setelah Allah berikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kenabian, risalah serta perintah-perintah, tidaklah beliau duduk di rumahnya. Bahkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajak manusia dan bahkan beliau terus bergerak. Saya tidak menginginkan dari penuntut 'ilmu ini. Keadaan mereka hanya salinan dari kitab-kitab. Akan tetapi aku menginginkan dari mereka supaya mereka menjadi para 'ulama yang beramal.

7. Al-Hikmah
Hendaknya dia itu berhias dengan hikmah. Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala berfiman.
يُّؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا ۗ 
Allahu Ta'ala memberi hikmah kepada siapapun yang ia kehendaki dan siapapun yang diberi hikmah, sungguh ia telah diberi dengan sesuatu yang banyak. (QS. Al-Baqarah: 269)

Hendaknya keadaan penuntut 'ilmu itu membimbing dengan apa yang ia telah mengambil akhlak-akhlak yang ada. Dan ia membimbing dengan apa yang ia serukan dari Allahu Ta'ala. Yang mana ia mengajak bicara kepada manusia dengan apa yang ia layak kepadanya. Dan apabila kita menempuh jalan ini, maka akan kita dapatkan kebaikan yang banyak.
Sebagaimana Rabbuna Azza wa Jalla berfirman
وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا ۗ 
Barang siapa yang diberi hikmah sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak. (QS. Al-Baqarah: 269)

Al-Hakim, dia adalah menempatkan sesuatu-sesuatu pada tempat-tempatnya. Karena hakim itu diambil dari kata Al-Ihkam, yang artinya tepat, sesuai, pas, layak, rapi. Maka seharusnya atau bahkan wajib atas penuntut 'ilmu itu menjadi hakim dan bijaksana di dalam dakwahnya. Sifat hikmah adalah sifat yang terpuji. Sungguh Allahu Ta'ala telah menyebutkan tingkatan dakwah di dalam firman-Nya Ta'ala dalam QS. An-Nahl: 125.
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ 
Serulah pada hikmahmu nasihat yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang baik.  (QS. An-Nahl: 125)
Dan Allahu Ta'ala juga menyatakan jenjang keempat dalam QS. Al-Ankabut: 46.
وَلَا تُجَادِلُوْٓا اَهْلَ الْكِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۖ اِلَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ 
Jangan kamu mendebat ahlul kitab melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang yang zhalim di antara mereka. (QS. Al-'Ankabut: 46)
Maka memilihlah penuntut 'ilmu itu dari metode dakwah pada apa yang lebih dekat dengan penerimaan. Dan contoh yang demikian itu ada di dalam dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika telah datang seorang Arab Badui, kemudian orang itu kencing di sudut dari masjid. Bangkitlah para shahabat menghardiknya dan mengusirnya. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghalangi para shahabat. Dan ketika telah selesai kencingnya orang Badui tadi, Nabi memanggilnya dan beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada orang tadi, sesungguhnya masjid-masjid ini tidak pantas untuk sesuatu berupa semisal kencing ini dan juga semisal kotoran. Sesugguhnya saja masjid-masjid ini untuk berdzikir kepada Allahu Ta'ala dan qira'atul Qur'an.
Apa menurut kalian yang lebih bagus dari hikmah ini? Orang Badui tadi menjadi lapang dada dan iapun berdoa kepada Allah, ya Allah rahmatilah aku dan rahmatilah Muhammad dan jangan Engkau rahmati yang selainnya. 

Allahu a'lam..

No comments:

Powered by Blogger.