Ringkasan Kajian Rutin: Bulughul Maram #11

December 29, 2021
Ustadz Abu Umair Kuswoyo Hafizhahullah
9 Desember 2021
Masjid Nur Annisa, Semarang

Bismillah..
Bab Seputar Menghilangkan Najis dan Sebagainya
Dari Ibunda 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, beliau mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membasuh bekas mani pada pakaiannya, kemudian beliau keluar untuk menunaikan shalat dengan pakaian tersebut dan saya melihat bekas cucian pada pakaian tersebut. 

Lafazh berbeda dari riwayat Imam Muslim
Sungguh aku pernah menggosok-gosoknya dari pakaian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian Nabi shalat menggunakan pakaian itu. 

Dan dalam lafazh yang lain
Sungguh aku pernah mengerik mani yang kering dari baju Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kukuku dari pakaian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Al-Hafizh ibnu Hajar Rahimahullahu Ta'ala menjelaskan bab mengenai mani dalam masalah bab menghilangkan najis, lantas apakah mani ini najis? Para 'ulama berbeda pendapat tentang status mani, suci ataukah najis. Pendapat pertama dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad dalam satu pendapatnya. Mereka berpendapat bahwa mani itu najis. Sehingga dibawakan dalam bab menghilangkan najis. Hujjah mereka adalah hadits ini. Karena kalau seandainya mani ini tidak najis, maka tentu tidak akan dibasuh. Maka dengan dibasuhnya atau dicucinya pakaian yang terkena air mani maka ini menunjukkan bahwasanya mani ini adalah najis.

Pendapat yang kedua, mereka mengatakan bahwasanya mani itu suci. Yang berpendapat demikian di antaranya adalah Imam Syafi'i, Imam Daud Azh-Zhahiri, dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullahu Ta'ala. Hujjahnya adalah hadits yang dibawakan Ibunda 'Aisyah Radhiyallahu 'anha.
Dalam lafazh yang lain, Ada seorang pria menemui Ibunda 'Aisyah, di pagi hari ia telah mencuci pakaiannya yang terkena mani. Kemudian 'Aisyah mengatakan, cukup bagimu jika engkau melihat ada mani, maka cukup engkau cuci bagian yang terkena mani. Jika engkau tidak melihatnya maka engkau percikilah daerah di sekitar mani tersebut. Sungguh aku sendiri pernah mengerik pakaian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat dengan pakaian tersebut. 

Seandainya mani itu najis, maka tidak cukup hanya dikerik dengan kuku sebagaimana darah haid dan sebagainya. Sedangkan riwayat yang menerangkan bahwa mani itu dibersihkan dengan dicuci hanya menunjukkan anjuran.

Maka pendapat yang paling kuat adalah air mani itu tidak najis. Karena ketika dikerik, kemungkinan masih tersisa sehingga sisa-sisa tersebut ternyata tidak mempengaruhi keadaan pakaian yang terkena mani tersebut. Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap menggunakan pakaian tersebut, sehingga ini menunjukkan bahwasanya air mani itu tidak najis.

Syaikh Shalih Ibnu Fauzan Hafizhahullah juga mengatakan bahwa membasuh atau mencucinya itu hanya suatu anjuran saja dan bukan wajib. Ini dalam rangka mengkompromikan beberapa dalil. Bermacam-macamnya cara menghilangkan mani menunjukkan bahwasanya membasuh itu hanya berupa anjuran dan tidak ada keharusan. Maka ini menunjukkan bahwa mani itu tidak najis.

Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwasanya keutamaan Ibunda 'Aisyah dan khitmah beliau kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Anjuran kepada para perempuan untuk berkhitmah kepada suaminya. Ummul Mukminin Ibunda 'Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shidiq dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah Ibunda Khadijah meninggal. Menikah dengan Nabi ketika umurnya 6 tahun, tetapi baru hidup serumah dengan Nabi ketika umurnya 9 tahun. Beliau Radhiyallahu 'anha adalah salah satu istri yang Rasul cintai. Keutamaan Ibunda 'Aisyah atas istri-istri yang lain adalah seperti makanan yang istimewa.

Faidah:
1) Mani manusia itu suci dan tidak najis.
2) Sucinya mani disebabkan mani diperlakukan dengan digosok dalam keadaan kering dan dipakai shalat tanpa dicuci.
3) Ibunda 'Aisyah benar-benar mengabdi kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

Hadits berikutnya dari Abu Samhi Radhiyallahu 'anhu (beliau adalah mantan budak Nabi, juga disebut sebagai pembantu. Nama asli beliau adalah Iyad. Hanya meriwayatkan sebuah hadits saja. Beliau hilang hingga tidak diketahui meninggalnya di mana.), beliau berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, bekas kencing bayi perempuan itu dibasuh atau dicuci sedangkan bekas kencing bayi laki-laki itu cukup diperciki.

Apakah hal ini menunjukkan bahwasanya kencing bayi laki-laki tidak najis? Jawabannya najis, tapi kenapa cukup hanya diperciki? Ini hanya tata cara menghilangkan najisnya.

Bayi laki-laki yang makanan pokoknya hanya ASI, kencingnya juga najis, hanya saja berbeda cara mensucikannya. Adapun bayi perempuan walaupun statusnya masih hanya minum asi, maka status kencingnya sama seperti laki-laki ataupun perempuan dewasa.

Hadits ini menujukkan:
1) Perbedaan perlakuan terhadap kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan. Kencin bayi laki-laki cukup diperciki sedangkan kencing bayi perempuan harus dicuci sebagaimana kencing lainnya.
2) Berlaku jika bayi laki-laki yang makanan pokoknya masih ASI berdasarkan hadits tambahan dari Ummu Qais.
3) Kencing bayi laki-laki berbeda dengan bayi perempuan karena beberapa sebab, seperti bayi laki-laki lebih sering digendong, maka menyulitkan dan kencing bayi laki-laki tidak pada satu tempat dan  kencing bayi perempuan itu lebih kotor dan lebih bau dibanding bayi laki-laki.
4) Kencing bayi laki-laki tetap najis. Hanya saja cara mensucikannya berbeda sebagaimana madzi.
5) Kotoran dari bayi tetap najis antara laki-laki maupun perempuan. Dan cara mensucikannya sama.

Hadits berikutnya dari Asma' binti Abu Bakar Radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang darah haid yang mengenai pakaian. Cukup untuk digosok, lalu disiram lalu dikucek kemudian shalat menggunakan pakaian tersebut.

Hadits ini menunjukkan kepada kita:
1) Tata cara membersihkan darah haid.
2) Darah haid itu najis.
3) Darah haid itu cara mensucikanya adalah dengan cara digosok, disiram kemudian dikucek.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Ya Rasulillah meskipun darah haid itu warnanya tidak hilang, jawabnya maka engkau cukup membersihkan dengan air dan bekasnya tidak mengapa. 

Lalu apakah pakaian itu sudah termasuk suci? Warna yang tetap menempel itu dimaafkan, sehingga hadits ini menunjukkan:
1) Darah yang membekas pada pakaian yang terkena darah haid apabila benar-benar sudah dicuci itu dimaafkan, yang dianggap najis adalah bentuk najisnya.
2) Darah haid dihilangkan dengan air dan digosok dengan benda yang lancip, kalau dicuci demikian maka bekas warna yang tersisa tidaklah masalah.
3) Ada keringanan dalam masalah najis. Karena terdapat pemaafan syari'at

Allahu a'lam..

No comments:

Powered by Blogger.