Ringkasan Kajian Rutin: Kitabul 'Ilmi #12

December 30, 2021
Ustadz Abu Zaid Hafizhahullah
14 Desember 2021
Masjid Nur Annisa, Semarang

Bismillah..

Sebagian ahli sejarah, mereka berbicara tentang Ibnu Hajar Rahimahullahu Ta'ala. Beliau itu adalah hakimnya hakim di negeri Mesir. Beliau apabila datang ke tempat yang beliau bekerja untuknya. Datang dengan kereta yang ditarik oleh kuda-kuda dalam satu rombongan. Maka lewatlah rombongan ini pada suatu hari, melewati seorsng laki-laki Yahudi, tukang minyak. Dan kebiasaannya minyak-minyak itu mengotori bajunya. Maka datanglah orang Yahudi ini kemudian ia menghentikan rombongan itu. Kemudian ia mengatakan kepada Ibnu Hajar Rahimahullah, sesungguhnya Nabi kalian mengatakan bahwa dunia adalah penjaranya orang beriman dan surganya orang kafir. Lalu engkau adalah hakimnya para hakim, sedangkan engkau berada di rombongan seperti ini dan dalam kenikmatan seperti ini. Sementara aku seorang Yahudi, dalam kondisi siksaan. Dan ini adalah kesialan. Ibnu Hajar Rahimahullah berkata kepadanya, aku di atas apa yang ada padanya kenikmatan dan kemewahan dibandingkan kenikmatan di surga adalah masih seperti di dalam penjara. Dan apa yang engkau rasakan sekarang dibandingkan dengan adzab di neraka, itu masih seperti surga. Kemudian masuklah Islam orang Yahudi tersebut.

Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullahu mengatakan, maka seorang yang beriman itu di dalam kebaikan, bagaimanapun dia. Dan dialah yang meraih keuntungan dunia dan akhirat. Sedangkan orang kafir itu di dalam kejelekan dan ialah yang rugi dunia dan akhiratnya.

Dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa nanti di hari kiamat akan didatangkan orang yang paling merasakan kemewahan di dunia. Orang ini paling merasakan kemewahan dunia padahal dia sebagai penghuni neraka, hingga kemudian dia dicelupkan dengan sekali celupan ke neraka. Kemudian ia ditanya, "Wahai anak cucu Adam, apakah kamu pernah merasakan kenikmatan sedikitpun?" Dia katakan, "Tidak demi Allah". Kemudian didatangkan orang yang paling sengsara di dunia, yang mana dia mendapatkan surga. Dia dicelupkan ke surga dengan sekali celupan, setelah itu dia ditanya, "Wahai anak cucu Adam, apakah kamu pernah melihat dan kesengsaraan setelahnya? Maka ia katakan, "Demi Allah wahai Rabb, aku tidak pernah merasakan kesengsaraan sedikitpun dan tidak pernah melihat kesengsaraan sedikitpun.

Allahu Ta'ala berfirman:
وَالْعَصْرِۙ
‪اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ
‪اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi waktu.
Sesungguhnya manusia betul-betul di dalam kerugian kecuali orang-orang beriman dan orang-orang beramal shalih.
Dan mereka yang berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran.

Maka orang-orang kafir dan orang-orang yang mereka menyia-nyiakan agama Allah, serta tenggelam di dalam kelezatan mereka dan kemewahan mereka. Kemudian mereka meskipun membangun istana-istana dan memperindahnya serta gemerlap dunia mereka, maka mereka sesungguhnya pada hakikatnya itu di dalam kesengsaraan. Sampai-sampai berkata sebagian salaf, kalau saja para raja mengetahui dan juga anak-anak raja para pangeran, mereka mengetahui apa yang kami ada di dalamnya, niscaya mereka akan menebas kami dengan pedang-pedang alias ingin merampas kebahagiaan kami para penuntut 'ilmu.

Adapun orang-orang beriman, sungguh mereka merasakan kenikmatan dengan bermunajat kepada Allah dan mengingatnya. Dan mereka bersama keputusan Allah dan takdirnya, maka menimpa mereka kesempitan-kesempitan, mereka bersabar. Dan apabila menimpa mereka kelapangan-kelapangan, mereka bersyukur. Maka mereka itu di dalam kenikmatan, bagaimanapun keadaannya. Berbeda dengan pemilik dunia, maka sesungguhnya mereka sebagaimana Allahu Ta'ala mensifati mereka dalam firman-Nya dalam Surah At-Taubah:58.
 وَاِنْ لَّمْ يُعْطَوْا مِنْهَآ اِذَا هُمْ يَسْخَطُوْنَ
Maka jika mereka diberi dari bagian dunia, mereka ridha. Dan ketika tidak diberi bagian dunia, tiba-tiba mereka itu marah.

Ayat ini turun tentang Dzul Quawishirah, pencetus pemikiran khawarij yang mana dia berperang bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi ketika Nabi membagi-bagikan harta rampasan perang, tiba-tiba dia protes sampai memegang baju Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seolah-olah beliau tidak adil, dan berkata "Adil lah engkau!". Kisah ini akhirnya turun ayat Allahu Ta'ala dalam Surah At-Taubah: 58.

Adapun seorang rujuk, kembali ke sunnah, kemudian sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam ada di hadapan kita. Sampai-sampai apa yang itu didustakan atas nama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka sesungguhnya ahli 'ilmu, mereka menjelaskan bahwasanya sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga mereka menjelaskan apa yang itu didustakan atas nama Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka tetaplah sunnah ini dalam keadaan nyata dan terjaga di hadapan kita. 

Akan tetapi ketika ada seseorang mengatakan kepada engkau, bagaimana mencocokkan apa yang engkau ucapkan bersamaan dengan kita dapati bahwasanya manusia itu mengikuti kitab-kitab yang ditulis dalam madzhab-madzhab. Yang mana dari kitab-kitab itu ditulis untuk menjelaskan madzhab mereka. Sementara kita katakan, kita berpegang tedua dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Ternyata dia mengikuti kitab-kitab yang ditulis pada madzhab-madzhab, sampai-sampai dia mengatakan madzhab saya seperti ini dan begitu. Sampai-sampai sesungguhnya engkau berkata kepada seseorang, telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Madzhab saya Hanafi, Hanbali, Syafi'i, Maliki. Bagaimana menyelaraskan bermadzhab, padahal kita berkata berpegang pada Al-Qur'an dan Sunnah? Jawabannya, sesungguhnya saya bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang patut diibadahi dengan benar selain Allah dan  saya bersaksi bahwasanya Muhammad itu utusan Allah. Maka apa arti bahwa Muhammad itu utusan Allah? Para 'ulama mengatakan, makna dari syahadat Rasul adalah mentaati beliau dari apa yang beliau perintahkan dan membenarkan dari apa yang beliau kabarkan, menjauhi apa yang beliau larang dan peringatkan. Dan tidaklah beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang beliau syari'atkan. 

Maka apabila seseorang mengatakan, saya bermadzhab demikian dan demikian. Maka kita katakan kepadanya, "Ini adalah sabda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam". Maka janganlah menentangkan ucapan beliau dengan ucapan seorang pun. Sampai-sampai para Imam-Imam madzhab, mereka melarang dari taqlid kepada mereka dengan taqlid yang murni, tidak mau mengetahui dari mana Imam ini mengambil dari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka mengatakan, kapanpun jelas Al-Haq, maka sesungguhnya wajib kembali kepadanya. Maka kita katakan kepada orang yang menentangkan kita dengan madzhab Fulan atau Fulan, seolah kita tidak sesuai. Maka kita katakan kepada dia bahwa kita dan anda itu sama-sama bersaksi bahwasanya Muhammad itu utusan Allah. Dan konsekuensi persaksian ini adalah tidaklah kita mengikuti kecuali kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena pendapat-pendapat madzhab pada hakikatnya adalah dari Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Maka inilah sunnah di hadapan kita demikian gamblang dan jelas, dengan ucapan ini untuk kita menyepelekan dari pentingnya kembali kepada kitab-kitab ahli fiqih atau kitab ahli 'ilmu. Akan tetapi sesungguhnya kembali kepada kitab-kitab mereka adalah untuk mendapatkan faidah dengan kitab-kitab. Maksud kita kembali kepada kitab-kitab para ahli fiqih dan ahli 'ilmu adalah untuk mendapatkan faidah, mengambil manfaat dan mengetahui metode-metode yang dari metode itu menjadi tahu bagaimana cara mengambil hukum dari dalil-dalilnya, dari perkara yang tidak mungkin seorang penuntut 'ilmu itu meneliti sendiri kecuali dengan kitab-kitab tadi.

Pentingnya kita kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah kemudian menoleh kepada kitab-kitab 'ulama agar kita tahu cara berdalil. Karena itu kita mendapati mereka, kaum-kaum yang tidak tafaqquh di hadapan para 'ulama, kita dapati mereka memiliki berupa ketergelinciran-ketergelinciran pada sesuatu yang banyak. Karena mereka melihat dan memandang dengan penglihatan yang sempit dengan apa yang seharusnya memandang lebih padanya. Orang-orang ini mengambil sebagai contoh Shahih Al-Bukhari kemudian dia berpendapat pada apa di dalamnya berupa hadits-hadits tersebut. Padahal di dalam hadits-hadits itu kadang sifatnya umum, khusus, kadang mutlak. Akan tetapi mereka tidak mendapatkan petunjuk pada yang demikian itu. Maka wajib bagi kita untuk banyak menela'ah karya para 'ulama.

Allahu a'lam..

No comments:

Powered by Blogger.