Safar, Tersesat dan Taman Surga

May 25, 2019
Bismillah..
Ini merupakan cerita lanjutan tentang perjalanan dinas gua di Jakarta yang sebelumnya pernah gua post, gua baru sempat menyelesaikannya karena memang butuh waktu dan pikiran untuk mengingat-ingat apa yang terjadi. Enjoy!

Kamis malam pekan ini gua akan berangkat ke Jakarta untuk menghadiri workshop, alhamdulillah gua sampai di Stasiun Gambir sekitar jam 5 Subuh, sebenernya agak terlambat sedikit karena masalah teknis, but it's ok gua sampe Gambir masih bisa Shalat Subuh dan masih bisa mandi dan sarapan terlebih dahulu sebelum akhirnya lanjut ke lokasi yang letaknya di daerah Tanah Abang. Setiap lewat atau main ke Tanah Abang gua selalu keinget sama tetangga gua sewaktu masih di daerah Tanjung Karang Pusat (rumah keluarga yang lama sebelum akhirnya pindah ke Sukarame). Namanya Kak Tito dan adiknya bernama Kak Ronald. Mereka bekerja jadi timnya Bapak Abraham Lunggana (untuk yang ga tau, silahkan googling). Hett.. malah ceritain mereka dah tuh. 

Lanjut setelah gua mempersiapkan diri dan tas gua, gua langsung menuju ke lokasi workshop. Seperti biasa, tempat pertama yang gua kunjungi apabila sedang safar ialah.... Masjid. Ya, gua ke masjid terlebih dahulu, Shalat Dhuha dan berkeliling sebentar di sekitar masjid untuk membaca situasi dan kondisi. Apalagi hari itu kan hari Jum'at, jadi gua setidaknya ga kerepotan cari jalan untuk ke tempat wudhu dan sebagainya pada saat Shalat Jum'at nantinya. 

Setelah itu gua cari beberapa orang yang gua kenal untuk gua ajak bincang sebentar sebelum gua naik ke lantai 4 dan masuk ke ruang workshop. Gua di sana bincang sebentar dengan seseorang yang dulunya pernah jadi bagian di Unit Pembangkitan Semarang, yaitu Mas Putut dan tutor gua Mas Dwi. Kami bincang di pinggir lapangan sambil nonton yang lain main badminton. Setelah itu gua dan Mas Dwi langsung aja ke ruang workshop. Di sana gua liat banyak banget temen-temen gua yang udah lama ga jumpa. Di sana gua ketemu temen-temen seperjuangan gua dulu di kelas IT semasa pembidangan Albi, Satria, Mas Hanung dan Ika, ga hanya itu, temen-temen satu angkatan gua juga ada Ines, terus juga gua ketemu tetangga gua waktu ngekos di kost gua yang awal banget yang sekarang udah di Papua, si Gradilla.

Menurut gua, acara tersebut lebih terasa seperti gathering aja, kumpul-kumpul bidang IT dan bidang Administrasi Kepegawaian. Selain mendengarkan materi, kami juga saling bincang, di tiap break kami bercanda dan bergurau layaknya teman yang sudah lama ga jumpa. Overall.. acaranya seru sih. Setelah acara selesai gua diajak Mas Hanung untuk main dulu ke Datacenter, kami main Pro Evolution Soccer (PES) 2019, gua pasti kalah karena gua udah lama banget ga main game semacam itu, tapi walau begitu, gua tetep beri perlawanan padahal gua anak yang baru main game itu sekali-duakali.

Jam sudah menunjuk ke angka 4, saatnya bubar jalan. Gua udah janjian sama Mas Hanung bakal singgah di kostnya dulu sambil nunggu jadwal kereta yang udah gua pesan. Qadarullah gua sama Mas Hanung berada di kereta yang sama, udah aja jadi kami berencana berangkat bareng ke stasiunnya. Gua sempet beberapa kali ketiduran waktu di kost Mas Hanung, soalnya dia beresin kamarnya dulu karena mau ditinggal ke Semarang, sesaat kemudian gua selesai mandi dan siap untuk ke masjid.

Gua ke masjid dengan kondisi ga bawa handphone tapi bawa dompet, pede aja jalan sendirian di kampung orang, sampailah ke suatu masjid yang sedang dibangun (sudah sekitar 80%). Gua Shalat berjama'ah di sana. Selesai Shalat, gua keluar masjid dengan wajah kebingungan. Soalnya pas gua datang langit masih cerah dan situasinya masih terang, dan ketika gua mau balik ke tempat Mas Hanung langit udah gelap dan jalan sekitarnya juga gelap. Gua jalan sambil mengingat-ingat jalan balik dan melihat sekitar yang sangat ramai dengan warga yang terlihat sangat asing. Pada saat itu gua merasa benar-benar sendirian dalam keramaian, gua merasa sangat asing dan tatapan warga sekitar ke gua pun terasa berbeda.

Gua mulai panik karena setiap langkah gua dari masjid tadi belum juga mengarahkan ke tempat Mas Hanung. Mungkin bakal muncul pertanyaan, "kenapa ga tanya orang sekitar aja?", gua bingung mau tanya gimana, karena gua benar-benar ga tau lokasi kost Mas Hanung itu. Gua sebenarnya udah beberapa kali tanya, tapi warga di sana kurang ngerti apa yang gua maksud karena gua sendiri ga bisa menggambarkan tempat yang gua tuju. Satu-satunya cara yang terpikirkan ialah gua harus balik lagi ke masjid dan mulai jalan lagi dari masjid itu. Akhirnya gua tanya warga kemana gua harus jalan untuk sampe ke masjid itu.

Gua liat jam tangan gua dan gua baru sadar udah lebih dari 30 menit gua jalan. Sesampainya di masjid, gua mulai jalan lagi sambil mengingat-ingat arah gua berangkat dari tempat Mas Hanung. Gua sampai di suatu rumah yang gua rasa mirip banget dengan tempat Mas Hanung itu. Tapi karena gua ragu, gua tanya lagi dengan warga sekitar. Mereka bingung karena semua rumah terlihat sama. Gua pun mulai pasrah dan lanjut jalan sambil berdoa dalam hati. Baru beberapa langkah gua jalan, tiba-tiba gua langsung nemu rumah tingkat yang sejak tadi gua cari-cari, alhamdulillah.

Gua pun langsung mengucap alhamdulillah. Gua merasa sangat bodoh karena setelah gua sadari, gua udah lewati rumahnya beberapa kali. Gua pun masuk untuk ketemu Mas Hanung dan menceritakan kejadian yang gua alami tadi. Mas Hanung ketawa geli mendengar cerita gua. Dia sudah menebak bahwa gua bakal nyasar karena gua lama ga balik semenjak Maghrib. Setelah itu kami santai dan mengobrol, dia sering banget cerita tentang keluarganya di Semarang.

Keluarga Mas Hanung semuanya di Semarang, sedangkan dia sendirian di Jakarta bekerja demi keluarganya. Anak dan Istrinya di Semarang, mereka hanya telponan dan video call untuk mengobati kerinduan mereka. Gua sedikit tersentuh dengan cerita Mas Hanung. Sebenarnya Mas Hanung pengen banget bisa pindah tugas ke Semarang, dia sedang berusaha supaya bisa tukar posisi dengan gua. Gua dan Mas Hanung jabatannya sama persis, jadi seharusnya ga sulit untuk bisa tukar posisi gitu, asalkan manajemen dari dua unit kami ini bisa setuju. Tapi yang terjadi, di unit Mas Hanung sepertinya enggan. Jadi dia harus terus berusaha untuk meyakinkan manajemen di unit tempat ia bertugas untuk bisa pindah ke Semarang.

Tak terasa Adzan Isya terdengar, kami langsung berjalan ke masjid. Kali ini masjid yang dituju berbeda. Selesai Shalat, kami makan malam di sebuah warteg di daerah sekitar kost Mas Hanung. Sambil makan gua berpikir, sanggupkah gua seperti Mas Hanung. Tinggal di tempat yang bahkan gua nyasar, fasilitas kost yang apa adanya banget padahal lumayan mahal biayanya, ga ada kendaraan pribadi, ditambah jauh dari keluarga.

Makan malam kami selesai dan kami langsung menuju ke kost dan mempersiapkan perlengkapan masing-masing untuk menuju ke stasiun. Di stasiun kami berpisah karena tiket kami menunjukkan gerbong yang berbeda. Tidak lama kereta akhirnya melaju, gua menikmati perjalanan kali ini dengan pengalaman yang baru, yaitu tersesat. Malamnya gua lebih banyak tidur karena kelelahan berjalan kaki sepanjang sore. Kereta dijadwalkan akan sampai sekitar jam 05.30, gua pun akhirnya memutuskan untuk Shalat Subuh di kursi kereta karena khawatir di stasiun nanti tidak sempat menunaikan kewajiban gua sebagai seorang Muslim.

Setelah perjalanan safar itu gua merasa gua harus memperbanyak mengucap syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hari itu hari Sabtu, sesuai rencana gua pun beristirahat sejenak setelah sampai di rumah dan kemudian beres-beres rumah setelah ditinggal beberapa hari. Malam harinya gua menghadiri Daurah Ustadz Musthofa Al Buthony untuk yang kesekian kali. Alhamdulillah semua berjalan sesuai rencana sampai gua bisa menghadiri Taman Surga Allah.

No comments:

Powered by Blogger.